Negara yang baik adalah
negara yang diperintah konstitusi dan berkedaulatan hukum. Model negara hukum
seperti ini ditandai dengan adanya ciri bahwa pemerintahan yang demokratis
adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan
pemerintah tercantum dalam konsitusi, sehingga sering disebut “pemerintah
berdasarkan konstitusi (Constitutional
Government)”. Implementasi dari negara hukum itu harus ditopang dengan
sistem demokrasi, sehingga diketahui bahwa hubungan antara negara hukum dan
demokrasi tidak dapat dipisahkan (Constitutional
Democracy). Meskipun perubahan terhadap naskah konstitusi tertulis bukanlah
suatu hal yang “diharamkan”, sepanjang berdirinya negara Republik Indonesia tercatat UUD 1945 beberapa kali
mengalami pergantian, sehingga dikenal adanya Undang-Undang Dasar 1945 (periode
18 agustus 1945 – 27 desember 1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(periode 27 desember 1949-17 agustus 1950), UUD Sementara 1950 (periode 17
agustus 1950 – 5 juli 1959), UUD 1945 (periode 1959-1971), UUD 1945 (periode
1971 – 1999), UUD 1945 ( periode 1999 – sekarang/ setelah perubahan).
Perubahan demi
perubahan yang dilakukan terhadap naskah konstitusi tertulis Indonesia ini
seharusnya dilaksanakan dengan proses yang tidak begitu sederhana dengan
berbagai pertimbangan agar terbentuk konstitusi yang benar-benar memenuhi
kebutuhan masyarakat akan hukum. Sebagai suatu kontrak sosial, keberadaan
konstitusi memiliki arti dan nilai signifikansi yang cukup besar dalam
kehidupan bangsa oleh karena konstitusi merupakan jiwa (soul of the nation) dari bangsa yang bersangkutan. Bergulirnya roda
reformasi pada tahun 1998 dapat dikatakan menyebabkan efek domino dalam
kehidupan berkonstitusi Indonesia, tercatat telah terjadi perubahan sebanyak 4 (empat)
kali tahapan dimulai pada tahun 1999 hingga 2002, tentunya terdapat berbagai
perubahan yang cukup siginifikan disertai dampak yang cukup terasa dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Dalam kajian hukum tata negara, dikenal adanya
dua cara perubahan Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi yang tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan
menurut prosedur yang diatur sendiri oleh Undang-Undang Dasar itu atau
dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.[1] Cara
pertama biasa disebut dengan istilah “vervassung
anderung” (cara konstitusional) sedangkan cara yang kedua dikenal dengan
istilah “vervassung wandlung” (cara
revolusioner). Kedua, perubahan itu
sendiri dapat dilakukan (a) melalui pembaharuan naskah, (b) melalui pergantian
naskah yang lama dengan naskah yang baru, atau dilakukan (c) melalui naskah
tambahan (annex atau adendum) yang terpisah dari naskah asli
Undang-Undang Dasar yang menurut tradisi Amerika Serikat disebut Amandemen.[2]
Perubahan konstitusi umumnya banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran,
medan pengalaman, dan muatan kepentingan yang berbeda sehingga proses pemahaman
dan kebutuhan akan konstitusi dapat berubah seiring dengan perkembangan tingkat
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Cheryl Saunders
sebagaimana dikutip Soedarsono, terdapat 3 tahap pembentukan naskah konstitusi,
yaitu:[3]
a. Agenda Setting;
Pada tahap ini di bahas mengenai
elemen-elemen apa saja yang akan dimasukkan dalam naskah konstitusi didalamnya
turut dibahas pula mengenai prinsip-prinsip dan badan-badan yang berasal dari
naskah konstitusi lama yang sekiranya diperlukan dalam naskah konstitusi yang
baru;
b. Design and Development;
Tahapan
ini dapat dikatakan merupakan tahapan yang paling sulit, oleh karena dalam
tahapan ini ditentukan mengenai lembaga mana yang berwenang untuk membentuk
naskah konstitusi yang didalamnya dapat mengkombinasikan sejumlah isu
ketatanegaraan beserta sejumlah kepentingan hukum, politik dan masyarakat;
c.
Approval;
Pada
tahap akhir, proses penerimaan dilakukan dengan memilih satu di antara dua
macam cara yaitu (a) by the people
dan (b) representatives.
Pada
setiap tahapannya, materi yang hendak diangkat menjadi muatan naskah konstitusi
tertulis haruslah bersifat supel, flexible,
abstrak atau tidak rigid.[4]
Proses perubahan naskah konstitusi
Indonesia pasca reformasi (1999-2002) membawa banyak pengaruh dalam dinamika
ketatanegaraan Indonesia. Proses perubahan naskah konstitusi yang diawali sidang
istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998 yang menghasilkan tiga
buah ketetapan yaitu, (a) Ketetapan MPR nomor VIII/MPR/1998 tentang pencabutan
atas ketetapan MPR nomor IV/MPR/1983 tentang referendum nasional apabila hendak
melaksanakan perubahan Undang-Undang Dasar, (b) Ketetapan MPR nomor
XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakilnya yang turut
mengilhami perubahan dari Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (perubahan pertama), (c) Ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang
redifinisi/penyempurnaan ketentuan mengenai hak asasi manusia sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Diterbitkannya ketiga bentuk ketetapan tersebut
meskipun tidak secara langsung mengubah isi dari Undang-Undang Dasar Tahun
1945, namun telah menyentuh muatan dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Selanjutnya dengan dicabutnya
ketetapan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor IV/MPR/1983 tentang
keharusan untuk dilaksanakannya referendum secara nasional apabila hendak
dilakukan perubahan terhadap naskah konstitusi tertulis, menempatkan Pasal 37
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) sebagai standar acuan dalam
proses perubahan Undang-Undang Dasar. Didalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 dimuat ketentuan sebagai berikut:[5]
a. Ayat
1: Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir;
b. Ayat
2: Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir;
Naskah
konstitusi ketika itu menghendaki persoalan Design
and Development of Constitution dalam hal perubahan Undang-Undang Dasar, diserahkan
melalui lembaga perwakilan yang merupakan representasi dari rakyat. Dalam hal
ini legitimasi dari naskah konstitusi adalah tergantung dari kesepakatan para
wakil rakyat (representative democracy)
dalam meruumuskan dan menetapkan isi/muatan Undang-Undang Dasar tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) serta beberapa
ketetapan MPR yang lahir pasca sidang istimewa MPR , prosedural perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Gb.2. Proses Perubahan
Naskah Konstitusi (1999-2002)
Perubahan
Undang-Undang Dasar yang berlangsung sebanyak empat kali berturut-turut, sejak
siding umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tanggal 19 oktober 1999, tidak dapat
dipandang sebagai pembuatan Undang-Undang Dasar baru. Itulah sebabnya, keempat
perubahan Undang-Undang Dasar dimaksud dinamakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (redaksi baru).[6]
Dapat dikatakan meskipun keempat tahap
perubahan Undang-Undang Dasar itu bukan diartikan sebagai pembuatan
Undang-Undang Dasar baru namun setiap tahapan perubahan dapat diartikan sebagai
bentuk perubahan secara radikal (Umwertung
Aller Werte).[7]
Hal ini dapat dilihat disamping dari materi/muatan dari Undang-Undang Dasar
tersebut, secara sistematika apabila semula Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(sebelum perubahan) terdiri dari tiga bagian yang masing-masing pembukaan,
batang tubuh dan penjelasan, maka setelah dilakukan perubahan sebanyak empat
tahap maka sistematika dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 hanya terdiri dari dua bagian yaitu pembukaan dan pasal-pasal. Apabila
dibuatkan dalam bentuk tabel perbandingan maka dapat digambarkan sebagai
berikut:[8]
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
|
||||||
No.
|
Posisi
|
Bab
|
Pasal
|
Ayat
|
Aturan
Peralihan
|
Aturan Tambahan
|
1
|
Sebelum Perubahan
|
16
|
37
|
49
|
4
Pasal
|
2
Ayat
|
2
|
Sesudah Perubahan
|
21
|
73
|
170
|
3
Pasal
|
2 Pasal
|
Gb.3.
Tabel Perbandingan Sistematika Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan
yang disepakati oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui pengambilan
keputusan baik secara aklamasi maupun voting tersebut, barang tentu membawa
perubahan bagi ketatanegaraan Indonesia.
Perubahan naskah
konstitusi atau Undang-Undang Dasar bukanlah sesuatu hal yang bertentangan
dengan hukum tata negara Indonesia. Perubahan itu adalah keniscayaan seiring
dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sejatinya perubahan yang
dilakukan harus tetap memperhatikan patron yang menjadi rambu-rambu kenegaraan
sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan jati dirinya (Soul of Nation). Pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
tahun 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:[9]
a. Sepakat
untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b. Sepakat
untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;[10]
c.
Sepakat untuk mempertahankan sistem
presidensil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul
memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil);[11]
d. Sepakat
untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
e.
Sepakat untuk menempuh cara addendum
dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945;
Kelima
kesepakatan di atas merupakan patron/dasar dalam perubahan Undang-Undang Dasar
dari sudut Constitution Making
melalui tahap Agenda Setting (aspirasi/pengajuan
elemen-elemen perubahan naskah konstitusi),
Design and Development (lembaga,proses perubahan, partisipasi publik,
pembicaraan), serta Approval (pengambilan
kesepakatan, aklamasi, voting) sebagaimana telah diuraikan di atas.
[1] Ibid,hlm.263.
[2] Ibid,hlm.265.
[3] Soedarsono, Putusan Mahkamah Konstitusi tanpa Mufakat Bulat, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2008, hlm.407.
[4] Ihsannuddin, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
USU Press, Medan, 1996, hlm.41.
[5] Bandingkan dengan ketentuan yang
diatur dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR. Pasal 37: (1) Usul perubahan
pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar diajuukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas
bagian yang diusulkan untuuk diubah beserta alasannya; (3) Untuk mengubah
pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (5) Khusus mengenai bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
[6] H.M. Laica Marzuki, Op.Cit, hlm.74.
[7] Ibid,hlm.75.
[8] Jimmly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Makalah, disampaikan pada Studium Generale Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, Tanggal 27 Maret Tahun 2008.
[9] Jimmly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis..,
Op.Cit, hlm.11.
[10] Lihat: Pasal 37 Ayat 5
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Keempat).
Dikatakan: “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan”.
[11] Apabila diperhatikan dalam
risalah rapat BPUPKI tanggal 14 Juli
1945, sepakat untuk tidak mempergunakan sistem parlementer maupun sistem
presidensial sepenuhnya karena masing-masing mempunyai kekurangan dan
kelemahan. Sistem parlementer adalah penerapan pandangan individualism tidak
mengenal pemisahan kekuasaan, sebaliknya sistem presidensial juga tidak cocok
karena sistem tersebut mempunyai kelemahan, Pertama, mengandung resiko konflik berkepanjangan antara eksekutif
dan legislatif. Kedua, sangat kaku
karena Presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa akhir jabatannya. Sebagian
ahli mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem quasi, namun apapun sistem yang
dianut baik (sistem parlementer, presidensil, quasi, sistem mandataris, sistem
MPR) atau apapun itu masing-masing membawa plus minus bawaan.