Hampir semua negara
menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya.[1] Paham
kedaulatan rakyat itu sendiri dipahami sebagai kedaulatan yang diperoleh negara
yang berasal dari rakyatnya.[2] Rakyat
sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan suatu negara memang
memiliki posisi cukup penting dalam proses tumbuh kembang suatu negara. Di
Indonesia sendiri, paham kedaulatan rakyat sebagaimana yang digariskan dalam
sila keempat dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, diartikan
sebagai kedaulatan rakyat dalam bentuk perwakilan (representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang dijalankan
oleh para wakil rakyat.[3] Dalam
hal ini wakil-wakil rakyat tersebutlah yang menentukan corak dan cara
pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai oleh negara baik dalam waktu
yang relatif pendek, maupun dalam jangka waktu yang panjang.
Perihal prinsip
demokrasi, meskipun oleh Aristoteles Demokrasi dinilai sebagai sistem
pemerintahan yang paling buruk (bad
government) dan mudah tergelincir menjadi Mobokrasi (government by mass/mob) atau anarki, namun toh tidak ada suatu
negara yang ingin disebut tidak demokratis atau bukan negara demokrasi.[4] Suatu
negara memilih sistem pemerintahan atau system politik demokrasi didasarkan
pada adanya pertimbangan berikut, yaitu:[5]
a.
Demokrasi
mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokratis yang kejam dan licik;
b.
Demokrasi
menjamin sejumlah hak asasi bagi warga negara yang tidak diberikan oleh
system-sistem yang tidak demokratis;
c.
Demokrasi
lebih menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas;
d.
Demokrasi
membantu orang untuk melindungi kepentingan kelompok mereka;
e.
Demokrasi
memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral,
termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat;
f.
Demokrasi
memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral,
termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat;
g.
Demokrasi
membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relative tinggi;
h.
Demokrasi
modern tidak membawa peperangan negara penganutnya;dan
i.
Demokrasi
cenderung lebih membawa kemakmuran bagi negara penganutnya daripada
pemerintahan yang tidak menganut demokrasi;
Apapun bentuk dan paham dari suatu
negara, pada hakikatnya pilihan tersebut adalah tergantung bagaimana suatu
negara menginginkan hal yang terbaik dalam mewujudkan kebahagiaan bersama “The Pursuit of a Happines”.
Meskipun telah
dikemukakan sebelumnya bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat, perlu
diingat pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut haruslah dilaksanakan dengan
memperhatikan koridor Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[6]
Lantas timbul pertanyaan apakah prinsip kedaulatan yang dianut oleh Indonesia
adalah kedaulatan rakyat semata? Perlu dicermati bahwa secara tegas Founding Fathers kita juga mencantumkan
prinsip “Nomoi”[7]
atau “Nomokrasi” dalam Konstitusi In Concreto-nya. Hal ini dapat dilihat
pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.[8] Dengan
berpijak pada kedua ketentuan inilah ditarik kesimpulan tadi yaitu bahwa cita
negara yang hendak diwujudkan adalah negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang demokratis (democratische
rechstaat) dan sekaligus negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).[9]
Keberadaan hukum sebagai
suatu tata aturan dalam penyelenggaraan negara tidaklah terlepas dari fungsi
hukum yang bersifat mengatur (Unfullen
Recht) dan memaksa (Dwingen Recht).[10]
Keberadaan hukum yang diformalkan kedalam naskah konstitusi Indonesia adalah bentuk dari hukum konstitusi
yang merupakan bagian dari hukum tata negara.[11]
Oleh karena itu, hakikat dari konstitusi tidak lain adalah perwujudan paham
tentang konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah di satu pihak dan jaminan hak-hak warga negara maupun setiap
penduduk di pihak lain. Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis
merupakan sebuah dokumen formal yang berisi: (1) hasil perjuangan politik
bangsa di waktu lampau, (2) tingkat-tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan bangsa, (3) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,
baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang, (4) suatu
keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.
Indonesia sebagai sebuah negara yang dibangun dengan
bersendikan hukum dan kedaulatan rakyat, kekuasaan yang ada berasal dari
kemauan/kehendak rakyat dengan mendapatkan legitimasi bersama oleh rakyat baik
yang dilembagakan dalam konstitusi formal (in
concreto) maupun dalam keseluruhan kehendak umum konstitusi material (in abstracto). Konstitusi pada dasarnya
adalah kerangka masyarakat politik yang diorganisir dengan dan melalui hukum
yang menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, fungsi
dari alat-alat perlengkapan dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan. Karena
itu konstitusi juga mengandung makna sebagai kumpulan asas-asas penyelenggaraan
kekuasaan secara luas, hak-hak dari yang diperintah dan hubungan antar
keduanya. Oleh karena itu secara konseptual ada tiga karakter utama dari suatu
konstitusi, yaitu:[12]
a. Konstitusi
sebagai suatu hukum tertinggi suatu negara (a
constitution is a supreme law of the land);
b. Konstitusi
sebagai suatu kerangka kerja system pemerintahan (a constitution is a frame work for a government);
c.
Konstitusi merupakan suatu instrument
yang legitimate untuk membatasi kekuasaan pejabat pemerintah (a constitution a legitimate way to grant and
limit powers of government officials);
Demikian
pentingnya posisi konstitusi sebagai kontrak kesepakatan bersama antara rakyat
dengan rakyat dan rakyat dengan wakil-wakilnya, maka keberadaan dari
Undang-Undang Dasar merupakan suatu kebutuhan yang tidak terelakan dalam
kehidupan bernegara.
Apabila
digambarkan maka posisi konstitusi terhadap hubungan antara rakyat dengan
pemerintah dalam kehidupan bernegara dapat diposisikan dalam bagan sebagai
berikut:
Gb.1. Ragaan Konstitusi Bersumber Kedaulatan Rakyat
(Negara Demokrasi)
Dapat
dijelaskan bahwa negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya inggris dan Israel yang
dikenal sampai sekarang tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut
Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah
dibuat tetapi tumbuh.[13] Perihal
tumbuh dan berkembangnya suatu konstitusi tidak terlepas dari pertumbuhan, perkembangan
dan perubahan dari prinsip kedaulatan yang dianut.[14]
Indonesia sendiri telah beberapa kali mengalami baik berbentuk pergantian
maupun perubahan konstitusi hingga sekarang. Kehendak rakyat yang menjadi
sumber utama paham kedaulatan rakyat di Indonesia, baik yang dilembagakan
secara formal dalam suatu naskah maupun tidak merupakan “kontrak kesepakatan”
bersama antara rakyat dan wakilnya ketika hendak mendirikan suatu organisasi
yang dinamakan negara beserta pemerintahan,lembaga, tugas, fungsi dan
kewenanganya.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara, konstitusi dapat berupa hukum
dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar (Ground Wet) dan dapat pula tidak tertulis. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999
hingga 2002, merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia
yang dipergunakan seiring perkembangannya. Didalamnya tercantum dasar-dasar
normative yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control) terhadap penyimpangan dan
penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana
pembaharuan masyarakat (tool of social
and political reform) serta sarana perekayasaan (tool of social and political engineering).[15]
Paham kedaulatan rakyat yang hendak diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tidak hanya bersifat demokrasi politik semata
namun juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Sebagai hukum dasar,
perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang
bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip
kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan
ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya
sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan
ditentukan lebih lanjut dalam suatu undang-undang beserta peraturan-peraturan
yang berada dibawahnya dengan memperhatikan hubungan hierarkis/ berjenjang
antara yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak terjadi pertentangan
(inkonstitusional) diantaranya.
[1] H.M. Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum Sebuah
Pemikiran Hukum Laica Marzuki, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI,
Jakarta, 2008, hlm. 61.
[2] Samidjo, Ilmu Negara, Penerbit Armico, 2002, hlm.145.
[3] Moh. Kusnardi,dkk, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar
Bakti, Jakarta, 1983, hlm.328.
[4] Abdul Mukhti Fadjar, Pemilihan Umum yang Berkualitas Penyelesaian
Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Makalah dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor
1 edisi April 2009, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2009,
hlm.3.
[5] Ramlan Surbakti,dkk, Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum,
Penerbit Kemitraan, Jakarta, 2008, hlm.8-9.
[6] Lihat: Teks Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga.
[7] Secara embrionik, gagasan negara
hukum telah dikemukakan oleh Plato, ia mengatakan bahwa penyelenggara negara
yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan negara hukum yang baik. Tahir
Azhary, Negara Hukum, Penerbit Bulan
Bintang, Jakarta, 1992, hlm.63.
[8] Prinsip negara hukum baik dalam
naskah UUD 1945 sebelum maupun sesudah dilakukannya Amandemen dengan empat kali
tahap perubahan, tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Keduanya sama-sama
menekankan prinsip negara hukum yang demokratis. Lihat: Naskah UUD 1945 sebelum maupun sesudah
Amandemen.
[9] Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi Judicial Review dan Welfare State, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2008,hlm. 10. Vide Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945,
Makalah (Tidak Dipublikasikan), hlm.2.
[10] Wahjono Darmabrata, Demokrasi Hukum dan Penelusuran Literatur
Hukum, Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus Profesi Advokad (PKPA)
Tanggal 17 Maret 2012.
[11] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 1992,hlm.8. Lihat Juga: Moh.Kusnardi,dkk., Ibid, hlm.22.
[12] Krisna Harahap, Serba-Serbi Politik Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 1992, hlm.20.
[13] Lihat kesimpulan yang
dikemukakan Brian Thompson tentang konstitusi inggris, “In other words the british constitution was not made, rather it has
grown”. Brian Thompson, Textbook on
Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, Blackstone Press, London,
1997,hlm.5. Bandingkan dengan: Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Amandemen Konstitusi, Makalah disampaikan pada
Kuliah Umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 29 April 2006.
[14] Berlakunya suatu konstitusi
sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut
paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat.
Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan
berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal ini lah yang oleh para ahli dinamakan constitution power yang merupakan
kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya,sering
disebut juga sebagai constituent act
bukan produk legislative yang biasa. Lihat: Jimmly Asshidiqqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2009, hlm.254.
[15] Ibid, hlm.258.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar