Sabtu, 04 Mei 2013

Kedaulatan Rakyat dan Konstitualisme dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



Hampir semua negara menganut paham kedaulatan rakyat dalam konstitusinya.[1] Paham kedaulatan rakyat itu sendiri dipahami sebagai kedaulatan yang diperoleh negara yang berasal dari rakyatnya.[2] Rakyat sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan suatu negara memang memiliki posisi cukup penting dalam proses tumbuh kembang suatu negara. Di Indonesia sendiri, paham kedaulatan rakyat sebagaimana yang digariskan dalam sila keempat dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, diartikan sebagai kedaulatan rakyat dalam bentuk perwakilan (representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang dijalankan oleh para wakil rakyat.[3] Dalam hal ini wakil-wakil rakyat tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai oleh negara baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka waktu yang panjang.
Perihal prinsip demokrasi, meskipun oleh Aristoteles Demokrasi dinilai sebagai sistem pemerintahan yang paling buruk (bad government) dan mudah tergelincir menjadi Mobokrasi (government by mass/mob) atau anarki, namun toh tidak ada suatu negara yang ingin disebut tidak demokratis atau bukan negara demokrasi.[4] Suatu negara memilih sistem pemerintahan atau system politik demokrasi didasarkan pada adanya pertimbangan berikut, yaitu:[5]
a.       Demokrasi mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokratis yang kejam dan licik;
b.       Demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi warga negara yang tidak diberikan oleh system-sistem yang tidak demokratis;
c.        Demokrasi lebih menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas;
d.       Demokrasi membantu orang untuk melindungi kepentingan kelompok mereka;
e.        Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral, termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat;
f.        Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral, termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat;
g.        Demokrasi membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relative tinggi;
h.       Demokrasi modern tidak membawa peperangan negara penganutnya;dan
i.         Demokrasi cenderung lebih membawa kemakmuran bagi negara penganutnya daripada pemerintahan yang tidak menganut demokrasi;
Apapun bentuk dan paham dari suatu negara, pada hakikatnya pilihan tersebut adalah tergantung bagaimana suatu negara menginginkan hal yang terbaik dalam mewujudkan kebahagiaan bersama “The Pursuit of a Happines”.
Meskipun telah dikemukakan sebelumnya bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat, perlu diingat pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut haruslah dilaksanakan dengan memperhatikan koridor Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[6] Lantas timbul pertanyaan apakah prinsip kedaulatan yang dianut oleh Indonesia adalah kedaulatan rakyat semata? Perlu dicermati bahwa secara tegas Founding Fathers kita juga mencantumkan prinsip “Nomoi[7] atau “Nomokrasi” dalam Konstitusi In Concreto-nya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.[8] Dengan berpijak pada kedua ketentuan inilah ditarik kesimpulan tadi yaitu bahwa cita negara yang hendak diwujudkan adalah negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechstaat) dan sekaligus negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).[9]
Keberadaan hukum sebagai suatu tata aturan dalam penyelenggaraan negara tidaklah terlepas dari fungsi hukum yang bersifat mengatur (Unfullen Recht) dan memaksa (Dwingen Recht).[10] Keberadaan hukum yang diformalkan kedalam naskah konstitusi  Indonesia adalah bentuk dari hukum konstitusi yang merupakan bagian dari hukum tata negara.[11] Oleh karena itu, hakikat dari konstitusi tidak lain adalah perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di pihak lain. Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi: (1) hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau, (2) tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa, (3) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang, (4) suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Indonesia sebagai sebuah negara yang dibangun dengan bersendikan hukum dan kedaulatan rakyat, kekuasaan yang ada berasal dari kemauan/kehendak rakyat dengan mendapatkan legitimasi bersama oleh rakyat baik yang dilembagakan dalam konstitusi formal (in concreto) maupun dalam keseluruhan kehendak umum konstitusi material (in abstracto). Konstitusi pada dasarnya adalah kerangka masyarakat politik yang diorganisir dengan dan melalui hukum yang menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, fungsi dari alat-alat perlengkapan dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan. Karena itu konstitusi juga mengandung makna sebagai kumpulan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan secara luas, hak-hak dari yang diperintah dan hubungan antar keduanya. Oleh karena itu secara konseptual ada tiga karakter utama dari suatu konstitusi, yaitu:[12]
a.       Konstitusi sebagai suatu hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law of the land);
b.       Konstitusi sebagai suatu kerangka kerja system pemerintahan (a constitution is a frame work for a government);
c.        Konstitusi merupakan suatu instrument yang legitimate untuk membatasi kekuasaan pejabat pemerintah (a constitution a legitimate way to grant and limit powers of government officials);
Demikian pentingnya posisi konstitusi sebagai kontrak kesepakatan bersama antara rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan wakil-wakilnya, maka keberadaan dari Undang-Undang Dasar merupakan suatu kebutuhan yang tidak terelakan dalam kehidupan bernegara.
      Apabila digambarkan maka posisi konstitusi terhadap hubungan antara rakyat dengan pemerintah dalam kehidupan bernegara dapat diposisikan dalam bagan sebagai berikut:

Gb.1. Ragaan Konstitusi Bersumber Kedaulatan Rakyat (Negara Demokrasi)

Dapat dijelaskan bahwa negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya inggris dan Israel yang dikenal sampai sekarang tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat tetapi tumbuh.[13] Perihal tumbuh dan berkembangnya suatu konstitusi tidak terlepas dari pertumbuhan, perkembangan dan perubahan dari prinsip kedaulatan yang dianut.[14] Indonesia sendiri telah beberapa kali mengalami baik berbentuk pergantian maupun perubahan konstitusi hingga sekarang. Kehendak rakyat yang menjadi sumber utama paham kedaulatan rakyat di Indonesia, baik yang dilembagakan secara formal dalam suatu naskah maupun tidak merupakan “kontrak kesepakatan” bersama antara rakyat dan wakilnya ketika hendak mendirikan suatu organisasi yang dinamakan negara beserta pemerintahan,lembaga, tugas, fungsi dan kewenanganya.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara, konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar (Ground Wet) dan dapat pula tidak tertulis. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 hingga 2002, merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia yang dipergunakan seiring perkembangannya. Didalamnya tercantum dasar-dasar normative yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaharuan masyarakat (tool of social and political reform) serta sarana perekayasaan (tool of social and political engineering).[15] Paham kedaulatan rakyat yang hendak diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak hanya bersifat demokrasi politik semata namun juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam suatu undang-undang beserta peraturan-peraturan yang berada dibawahnya dengan memperhatikan hubungan hierarkis/ berjenjang antara yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak terjadi pertentangan (inkonstitusional) diantaranya.


[1] H.M. Laica Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum Sebuah Pemikiran Hukum Laica Marzuki, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2008, hlm. 61.
[2] Samidjo, Ilmu Negara, Penerbit Armico, 2002, hlm.145.
[3] Moh. Kusnardi,dkk, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm.328.
[4] Abdul Mukhti Fadjar, Pemilihan Umum yang Berkualitas Penyelesaian Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Makalah dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1 edisi April 2009, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2009, hlm.3.
[5] Ramlan Surbakti,dkk, Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum, Penerbit Kemitraan, Jakarta, 2008, hlm.8-9.
[6] Lihat: Teks Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga.
[7] Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ia mengatakan bahwa penyelenggara negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan negara hukum yang baik. Tahir Azhary, Negara Hukum, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm.63.
[8] Prinsip negara hukum baik dalam naskah UUD 1945 sebelum maupun sesudah dilakukannya Amandemen dengan empat kali tahap perubahan, tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Keduanya sama-sama menekankan prinsip negara hukum yang demokratis.  Lihat: Naskah UUD 1945 sebelum maupun sesudah Amandemen.
[9]  Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi Judicial Review dan Welfare State, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2008,hlm. 10.  Vide Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah (Tidak Dipublikasikan), hlm.2.
[10] Wahjono Darmabrata, Demokrasi Hukum dan Penelusuran Literatur Hukum, Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus Profesi Advokad (PKPA) Tanggal 17 Maret 2012.
[11] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992,hlm.8. Lihat Juga: Moh.Kusnardi,dkk., Ibid, hlm.22.
[12] Krisna Harahap, Serba-Serbi Politik Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.20.
[13] Lihat kesimpulan yang dikemukakan Brian Thompson tentang konstitusi inggris, “In other words the british constitution was not made, rather it has grown”. Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, Blackstone Press, London, 1997,hlm.5. Bandingkan dengan: Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Amandemen Konstitusi, Makalah disampaikan pada Kuliah Umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 29 April 2006.
[14] Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal ini lah yang oleh para ahli dinamakan constitution power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya,sering disebut juga sebagai constituent act bukan produk legislative yang biasa. Lihat: Jimmly Asshidiqqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2009, hlm.254.
[15] Ibid, hlm.258.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar