Sabtu, 04 Mei 2013

Proses Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasca Reformasi (1999-2002) dari Sudut Constitution Making



Negara yang baik adalah negara yang diperintah konstitusi dan berkedaulatan hukum. Model negara hukum seperti ini ditandai dengan adanya ciri bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konsitusi, sehingga sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi (Constitutional Government)”. Implementasi dari negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi, sehingga diketahui bahwa hubungan antara negara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (Constitutional Democracy). Meskipun perubahan terhadap naskah konstitusi tertulis bukanlah suatu hal yang “diharamkan”, sepanjang berdirinya negara Republik Indonesia tercatat UUD 1945 beberapa kali mengalami pergantian, sehingga dikenal adanya Undang-Undang Dasar 1945 (periode 18 agustus 1945 – 27 desember 1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat (periode 27 desember 1949-17 agustus 1950), UUD Sementara 1950 (periode 17 agustus 1950 – 5 juli 1959), UUD 1945 (periode 1959-1971), UUD 1945 (periode 1971 – 1999), UUD 1945 ( periode 1999 – sekarang/ setelah perubahan).
Perubahan demi perubahan yang dilakukan terhadap naskah konstitusi tertulis Indonesia ini seharusnya dilaksanakan dengan proses yang tidak begitu sederhana dengan berbagai pertimbangan agar terbentuk konstitusi yang benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat akan hukum. Sebagai suatu kontrak sosial, keberadaan konstitusi memiliki arti dan nilai signifikansi yang cukup besar dalam kehidupan bangsa oleh karena konstitusi merupakan jiwa (soul of the nation) dari bangsa yang bersangkutan. Bergulirnya roda reformasi pada tahun 1998 dapat dikatakan menyebabkan efek domino dalam kehidupan berkonstitusi Indonesia, tercatat telah terjadi perubahan sebanyak 4 (empat) kali tahapan dimulai pada tahun 1999 hingga 2002, tentunya terdapat berbagai perubahan yang cukup siginifikan disertai dampak yang cukup terasa dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
 Dalam kajian hukum tata negara, dikenal adanya dua cara perubahan Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi yang tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan menurut prosedur yang diatur sendiri oleh Undang-Undang Dasar itu atau dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.[1] Cara pertama biasa disebut dengan istilah “vervassung anderung” (cara konstitusional) sedangkan cara yang kedua dikenal dengan istilah “vervassung wandlung” (cara revolusioner). Kedua, perubahan itu sendiri dapat dilakukan (a) melalui pembaharuan naskah, (b) melalui pergantian naskah yang lama dengan naskah yang baru, atau dilakukan (c) melalui naskah tambahan (annex atau adendum) yang terpisah dari naskah asli Undang-Undang Dasar yang menurut tradisi Amerika Serikat disebut Amandemen.[2] Perubahan konstitusi umumnya banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran, medan pengalaman, dan muatan kepentingan yang berbeda sehingga proses pemahaman dan kebutuhan akan konstitusi dapat berubah seiring dengan perkembangan tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Cheryl Saunders sebagaimana dikutip Soedarsono, terdapat 3 tahap pembentukan naskah konstitusi, yaitu:[3]
a.       Agenda Setting;
Pada tahap ini di bahas mengenai elemen-elemen apa saja yang akan dimasukkan dalam naskah konstitusi didalamnya turut dibahas pula mengenai prinsip-prinsip dan badan-badan yang berasal dari naskah konstitusi lama yang sekiranya diperlukan dalam naskah konstitusi yang baru;
b.       Design and Development;
Tahapan ini dapat dikatakan merupakan tahapan yang paling sulit, oleh karena dalam tahapan ini ditentukan mengenai lembaga mana yang berwenang untuk membentuk naskah konstitusi yang didalamnya dapat mengkombinasikan sejumlah isu ketatanegaraan beserta sejumlah kepentingan hukum, politik dan masyarakat;
c.        Approval;
Pada tahap akhir, proses penerimaan dilakukan dengan memilih satu di antara dua macam cara yaitu (a) by the people dan (b) representatives.
Pada setiap tahapannya, materi yang hendak diangkat menjadi muatan naskah konstitusi tertulis haruslah bersifat supel, flexible, abstrak atau tidak rigid.[4]
Proses perubahan naskah konstitusi Indonesia pasca reformasi (1999-2002) membawa banyak pengaruh dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia. Proses perubahan naskah konstitusi yang diawali sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998 yang menghasilkan tiga buah ketetapan yaitu, (a) Ketetapan MPR nomor VIII/MPR/1998 tentang pencabutan atas ketetapan MPR nomor IV/MPR/1983 tentang referendum nasional apabila hendak melaksanakan perubahan Undang-Undang Dasar, (b) Ketetapan MPR nomor XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakilnya yang turut mengilhami perubahan dari Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan pertama), (c) Ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang redifinisi/penyempurnaan ketentuan mengenai hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diterbitkannya ketiga bentuk ketetapan tersebut meskipun tidak secara langsung mengubah isi dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun telah menyentuh muatan dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Selanjutnya dengan dicabutnya ketetapan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor IV/MPR/1983 tentang keharusan untuk dilaksanakannya referendum secara nasional apabila hendak dilakukan perubahan terhadap naskah konstitusi tertulis, menempatkan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) sebagai standar acuan dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar. Didalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dimuat ketentuan sebagai berikut:[5]
a.       Ayat 1: Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir;
b.      Ayat 2: Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir;
Naskah konstitusi ketika itu menghendaki persoalan Design and Development of Constitution dalam hal perubahan Undang-Undang Dasar, diserahkan melalui lembaga perwakilan yang merupakan representasi dari rakyat. Dalam hal ini legitimasi dari naskah konstitusi adalah tergantung dari kesepakatan para wakil rakyat (representative democracy) dalam meruumuskan dan menetapkan isi/muatan Undang-Undang Dasar tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) serta beberapa ketetapan MPR yang lahir pasca sidang istimewa MPR , prosedural perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu dapat digambarkan sebagai berikut:
 
Gb.2. Proses Perubahan Naskah Konstitusi (1999-2002)
Perubahan Undang-Undang Dasar yang berlangsung sebanyak empat kali berturut-turut, sejak siding umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tanggal 19 oktober 1999, tidak dapat dipandang sebagai pembuatan Undang-Undang Dasar baru. Itulah sebabnya, keempat perubahan Undang-Undang Dasar dimaksud dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (redaksi baru).[6]
Dapat dikatakan meskipun keempat tahap perubahan Undang-Undang Dasar itu bukan diartikan sebagai pembuatan Undang-Undang Dasar baru namun setiap tahapan perubahan dapat diartikan sebagai bentuk perubahan secara radikal (Umwertung Aller Werte).[7] Hal ini dapat dilihat disamping dari materi/muatan dari Undang-Undang Dasar tersebut, secara sistematika apabila semula Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) terdiri dari tiga bagian yang masing-masing pembukaan, batang tubuh dan penjelasan, maka setelah dilakukan perubahan sebanyak empat tahap maka sistematika dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya terdiri dari dua bagian yaitu pembukaan dan pasal-pasal. Apabila dibuatkan dalam bentuk tabel perbandingan maka dapat digambarkan sebagai berikut:[8]
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
No.
Posisi
Bab
Pasal
Ayat
Aturan
Peralihan
Aturan Tambahan
1
Sebelum Perubahan
16
37
49
4 Pasal
2 Ayat
2
Sesudah Perubahan
21
73
170
3 Pasal
2 Pasal
Gb.3. Tabel Perbandingan Sistematika Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan yang disepakati oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui pengambilan keputusan baik secara aklamasi maupun voting tersebut, barang tentu membawa perubahan bagi ketatanegaraan Indonesia.
Perubahan naskah konstitusi atau Undang-Undang Dasar bukanlah sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum tata negara Indonesia. Perubahan itu adalah keniscayaan seiring dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sejatinya perubahan yang dilakukan harus tetap memperhatikan patron yang menjadi rambu-rambu kenegaraan sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan jati dirinya (Soul of Nation). Pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:[9]
a.       Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b.       Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;[10]
c.        Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil);[11]
d.       Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
e.        Sepakat untuk menempuh cara addendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945;
Kelima kesepakatan di atas merupakan patron/dasar dalam perubahan Undang-Undang Dasar dari sudut Constitution Making melalui tahap Agenda Setting (aspirasi/pengajuan elemen-elemen perubahan naskah konstitusi), Design and Development (lembaga,proses perubahan, partisipasi publik, pembicaraan), serta Approval (pengambilan kesepakatan, aklamasi, voting) sebagaimana telah diuraikan di atas.


[1] Ibid,hlm.263.
[2] Ibid,hlm.265.
[3] Soedarsono, Putusan Mahkamah Konstitusi tanpa Mufakat Bulat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2008, hlm.407.
[4] Ihsannuddin, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, USU Press, Medan, 1996, hlm.41.
[5] Bandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR. Pasal 37: (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajuukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuuk diubah beserta alasannya; (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
[6] H.M. Laica Marzuki, Op.Cit, hlm.74.
[7] Ibid,hlm.75.
[8] Jimmly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Makalah, disampaikan pada Studium Generale Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanggal 27 Maret Tahun 2008.
[9] Jimmly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis.., Op.Cit, hlm.11.
[10] Lihat: Pasal 37 Ayat 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Keempat). Dikatakan: “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
[11] Apabila diperhatikan dalam risalah  rapat BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, sepakat untuk tidak mempergunakan sistem parlementer maupun sistem presidensial sepenuhnya karena masing-masing mempunyai kekurangan dan kelemahan. Sistem parlementer adalah penerapan pandangan individualism tidak mengenal pemisahan kekuasaan, sebaliknya sistem presidensial juga tidak cocok karena sistem tersebut mempunyai kelemahan, Pertama, mengandung resiko konflik berkepanjangan antara eksekutif dan legislatif. Kedua, sangat kaku karena Presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa akhir jabatannya. Sebagian ahli mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem quasi, namun apapun sistem yang dianut baik (sistem parlementer, presidensil, quasi, sistem mandataris, sistem MPR) atau apapun itu masing-masing membawa plus minus bawaan.

3 komentar:

  1. apa proses perubahan ke-4 sampai dapat menetapkan 31 butir serta menghilangkan 1 butir

    BalasHapus
  2. itu penulisan footnote aja nggak bener, gimana mau jadi referensi

    BalasHapus
  3. itu penulisan footnote aja nggak bener, gimana mau jadi referensi

    BalasHapus