Abstraksi
Penjatuhan pidana
mati (capital punishment) terhadap
suatu delik tertentu telah lama menuai
perdebatan baik pro maupun kontra tidak hanya ditataran akademisi maupun
praktisi hukum semata, persoalan pemberian pidana mati juga masih menjadi
perbincangan yang cukup “hangat” di
kalangan masyarakat. Persoalan terpenting yang menarik adalah mengenai
efektifitas penjatuhan pidana mati itu sendiri apakah cukup mampu untuk menekan
laju perkembangan dan perluasan kejahatan yang tergolong extra ordinary crime.
Hukum pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk menjamin terlindungi dan
tercapainya ketertiban sosial dalam masyarakat. Di indonesia sendiri tujuan
dari hukum pidana itu sendiri diorientasikan pada aspek social welfare dan social
defence sebagaimana yang termaktub dalam tujuan negara yang terdapat dalam
alinea ke-4 (empat) undang-undang dasar 1945. Posisi hukum pidana sebagai utimum remidium (obat terakhir) dalam
menangani berbagai problema kemasyarakatan semakin mendapatkan tempat penting
terutama berkaitan dengan usaha untuk mempertahankan kepentingan umum. Sejalan
dengan pendapat Van Bemmelen, bahwa dengan adanya hukum pidana yang diancamkan
terhadap tingkah laku manusia berarti negara telah mengambil alih tanggungjawab
mempertahankan peraturan dan tertib sosial yang telah ditentukan.[1]
Persoalan korupsi
dewasa ini mendapat perhatian yang cukup serius sebagai bentuk kejahatan extraordinary crime, sehingga
penanganannya pun memerlukan bentuk pidana yang bersifat extraordinary punishment. Hal yang menarik apakah penjatuhan
hukuman mati dapat digolongkan sebagai extraordinary
punishment sehingga nestapa/pidana yang dijatuhkan tersebut memiliki efek
pencegahan terhadap masyarakat ataukah hukuman mati tersebut akan menjadi
pedang bermata dua yang apabila tidak hati-hati mempergunakannya dapat berbalik
menyerang dan merusak tatanan sosial masyarakat sehingga tujuan untuk menekan
bahkan menghentikan laju korupsi di negara ini tidak tercapai.
A.
Ajaran HAM Terhadap
Hak Untuk Hidup Manusia
Hak Asasi Manusia bermula dari sebuah gagasan
bahwa manusia tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan, karena
manusia memiliki hak alamiah yang melekat pada dirinya karena kemanusiaannya.[2] Gagasan itu didasari oleh
pandangan bahwa manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan
umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan
apapun, baik ras maupun etnis. Kehadiran hak asasi manusia dalam komunitas
internasional merupakan suatu kejadian penting karena pada dasarnya ia
bertujuan untuk menghancurkan pelindung yang dulunya melingkupi setiap
kekuasaan nasional dan membuatnya kelihatan seperti suatu keseluruhan dalam
pandangan negara lain sehingga mekanisme internalnya tidak dapat dipertanyakan.
Saat ini doktrin hak asasi manusia memaksa negara-negara untuk memberikan
keterangan mengenai bagaimana mereka memperlakukan warga negaranya, bagaimana
mereka menjalankan peradilan, mengoperasikan penjara dan sebagainya.
Dalam tataran
konseptual,[3]
Hak Asasi Manusia mengalami Proses perkembangan yang sangat kompleks.[4] Perbincangan mengenai Hak
Asasi Manusia tersebut mendapat perhatian yang cukup intens sejalan dengan
perkembangan kesadaran manusia akan status yang dimilikinya secara kodrati. Hal
ini sejalan dengan prinsip humanisasi hidup dan keadilan sosial yang tampil
sebagai suatu bentuk kekuasaan baru yang dihadapi manusia pada zaman ini.[5] Posisi manusia yang
senantiasa memberikan pengaruh berbeda terhadap bentuk penyelenggaraan
kekuasaan disadari pula turut mengambil andil dalam proses penghormatan dan
penjaminan hak kodrati yang melekat padanya selaku individu yang merdeka.
Secara keseluruhan,
dalam komunitas internasional, doktrin hak asasi manusia telah memperoleh nilai
dan signifikansi, dalam konteks sistem nasional, sesuai dengan Teori Kontrak
Sosial dari Locke,[6]
Konsep Pemisahan Kekuasaan dari Montesquieu,[7] serta Teori Kedaulatan
Rakyat dari Rousseau.[8] Bersamaan dengan ide-ide
politik tersebut yang mengikis fondasi monarki dan diktator, doktrin hak asasi
manusia selain mendorong komunitas internasional untuk menghormati martabat
semua manusia, juga berperan dalam proses demokratisasi negara-negara.
Pada masa
sekitar abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia.
Perjuangan untuk melindungi hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad
ke-20. Deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan
tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan baik yang diprakarsai oleh
lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh
negara-negara secara kolektif dan individual.[9]
Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum
nasional, bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum internasional.
Namun, dalam beberapa hal negara-negara bersepakat untuk menjalankan kewajiban
mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali menjadi persoalan dalam
bidang hak asasi manusia.[10]
Dinamika penegakan
prinsip-prinsip hak asasi manusia semakin mendapatkan posisi penting dalam setiap pola kehidupan
manusia, disadari atau tidak gelombang besar paham humanistic senantiasa
berkembang dan berada pada posisi terdepan dalam skala yang bersifat universal. Penegakan prinsip hak asasi
manusia ini tentunya diikuti dengan perkembangan hukum sebagai tertib manusia[11], artinya bahwa keberadaan
hukum itu tidak akan berhenti pada tataran teks-teks hukum melainkan menelisik
lebih jauh kedalam konteks dari hukum itu sendiri. Adanya tiga elemen dasar
pada hukum yang meliputi (substansi, struktur dan budaya) menjadi suatu titik sentral dalam proses pembaharuan
hukum untuk dapat menjawab setiap kebutuhan manusia akan hukum dan tertib
sosial.
Berbicara hak asasi
manusia tentunya tidak lepas dari keberadaan manusia sebagai pemegang hak.
Keberadaan individu dalam tataran hukum internasional masih menjadi suatu
pertanyaan besar yaitu apakah individu atau manusia merupakan subjek hukum
internasional. Terdapat dua konsep berbeda dalam menjawab pertanyaan tersebut,
dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif pada
umumnya pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur
mengenai hubungan antar negara dan oleh sebab itu individu tidak dapat dianggap
sebagai subjek hukum internasional.[12] Sebaliknya dengan
mengutip pendapat Georges Scelle mengatakan bahwa “the international law subject is man because every rule and statute
focused in human being”[13], para pendukung doktrin
ini mendasarkan pandangannya bahwa tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional
adalah individu dan oleh karena itu individu mendapatkan perlindungan
internasional.
Perkembangan terhadap
perlindungan hak asasi manusia pada awalnya dikembangkan dari keadaan dimana
negara memiliki tanggung jawab sebagai bentuk konsistensi dalam grand design negara itu sendiri. Proses
pengejawantahan grand design tersebut
turut dalam mengambil andil terhadap perkembangan konseptualisasi hak asasi
manusia dalam konteks hukum internasional. Dinah Shelton menjelaskan sebagai
berikut:[14]
“international
human rights law has developed innovative procedures to allows victims of human
rights violation to bring complaints directly against the offending state.
Prior to development to of these procedures, violations of international law
including those involving the mistreatment of individuals-were met with
responses under the law of state responsibility this traditional body of law
particularly the part of it that concerns the mistreatment of aliens, contains
useful precedent for evaluating the nature an scope of remedies afforded in
state practices”
Dari hal di atas
dapat dilihat bahwa perkembangan hak asasi manusia dalam lingkup internasional
pada awalnya melalui proses perkembangan dalam tataran nasional terlebih
dahulu, kemudian sejalan dengan proses perkembangan hukum dan manusia, hak
asasi manusia juga mengalami perkembangan.
Sebagai
suatu hal yang bersifat murni dan esensial hak asasi manusia itu sendiri
menurut Phillip C. Jessup menyebutkan suatu filosofi tua yang menyatakan bahwa
“it is inherent in the concept of fundamental rights of man that those
rights inhere in the individual and are not derived from the state”[15]. Hak (right) adalah hak (entitlement).
Hak adalah tuntutan yang dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai
kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut, dan tidak mencegah orang lain
melaksanakan hak-haknya. Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki
setiap orang sebagai manusia dengan mana hak tersebut tidak berasal atau
diperoleh dari negara. Posisi negara dalam hal ini adalah sebagai penjamin
berlangsungnya pelaksanaan hak-hak tersebut secara seimbang.
Negara
sebagai organ gerak utama dalam perlindungan dan penjaminan pelaksanaan prinsip
hak asasi manusia memiliki instrument berupa hukum. Hukum tanggung jawab negara
dapat diterapkan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, sebab dengan adanya
pelanggaran tersebut menimbulkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
Selanjutnya mengenai tanggung jawab negara tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut: [16]
“clearly,
the law of state responsibility remains applicable to the violation by a state
of internationally-recognized human rights, because such an act constitutes a
breach of an international obligation”
Disini dapat diperhatikan
bahwa negara memiliki kewajiban yang telah disepakati secara internasional
untuk melakukan perlindungan. Sebenarnya perlindungan tersebut pada hakikatnya
datang dari cita negara itu sendiri.
Terdapat
perbedaan pandangan mengenai konsep hak asasi manusia antar berbagai negara.
Konsep perlindungan hak asasi manusia itu sendiri di indonesia dapat dilihat
dalam pancasila maupun undang-undang dasar 1945 itu sendiri. Hal tersebut
sebagaimana termaktub pula dalam preambule
alinea ke-empat konstitusi indonesia sebagai berikut:[17]
“kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap
bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia…”
Dari kutipan pembukaan
konstitusi diatas dapat dipahami bahwa prinsip hak asasi manusia di indonesia
telah dijamin keberlangsungannya. Penjaminan tersebut dapat dikategorikan dalam
tataran social defence dan social welfare yang hendak diwujudkan
oleh negara. Namun dapat dilihat pula bahwa konsep pelaksanaan hak asasi
manusia di indonesia itu sendiri tentunya memiliki ciri yang berbeda dengan
negara lainnya. Perbedaan tersebut tentunya terletak pada kearifan nasional
indonesia yang tergambar dalam pancasila dan tujuan negara tersebut.
Hak untuk
hidup itu sendiri dijamin keberlangsungannya dalam undang-undang dasar 1945,
dimana dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
undang-undang, sehingga tidak secara serta merta Hak untuk hidup dapat
mengangkangi hak orang lain terutama dalam skala besar hak dari masyarakat.
Inilah yang menjadi alasan dasar bahwa pembatasan hak untuk hidup adalah
terletak pada kewajiban untuk menghormati hak untuk hidup yang dimiliki oleh
orang lain. Berdasarkan hal tersebut lah di satu sisi keberadaan pidana mati
masih tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap
pelaksanaanya.
B.
Pandangan
Perlunya Penjatuhan Pidana Mati
“Adalah hak dari penguasa negara untuk
mempertahankan ketertiban umum. Jika ia merusak seluruh ketertiban adalah
pantas untuk melenyapkan dia (pidana mati) dari seluruh pergaulan masyarakat”
(Dr. Mr. Rombonnet)
“Kekeliruan dalam
pemidanaan (mati) yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan alasan membantah
kefaedahannya terhadap masyarakat”
(Jonkers dalam
Handboek Page 179)
Aspirasi
dan tuntutan masyarakat yang sangat kuat di era reformasi untuk mencegah dan
memberantas korupsi secara lebih efektif, disalurkan dan diwujudkan oleh
wakil-wakil rakyat di DPR dengan mengganti undang-undang nomor 3 tahun 1971
dengan undang –undang nomor 31 tahun 1999 dan kemudian diamandemen kembali
dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Adanya ancaman pidana mati dalam
undang-undang nomor 31 tahun 1999 itu seolah-olah menunjukkan keseriusan
pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Dipilihnya atau
ditetapkannya pidana mati sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi
kejahatan pada hakikatnya merupakan suatu pilihan kebijakan. Dalam menetapkan
suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat pro atau kontra terhadap pidana
mati. Namun, setelah kebijakan diambil/diputuskan dan kemudian dirumuskan
(diformulasikan) dalam suatu undang-undang, maka dilihat dari sudut kebijakan
politik hukum pidana (penal policy)
dan kebijakan kriminal (criminal policy),
kebijakan formulasi pidana mati ini tentunya diharapkan dapat diterapkan dalam
tahap aplikasi.
Korupsi
diartikan sebagai perbuatan setiap orang yang dilakukan secara melawan hukum
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mana merugikan
keuangan dan perekonomian negara,[18] terminologi perbuatan
melawan hukum tersebut diartikan secara tidak sah mempergunakan kewenangan,
jabatan yang melekat padanya untuk melakukan tindakan yang tidak berkesesuaian
dengan prinsip kepatutan, hukum, transparansi, akuntabilitas, dan dengan mana
perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya dirisendiri, orang
lain, atau korporasi, serta perbuatan tersebut mengakibatakn terganggunya
perekonomian negara. Oleh karena perbuatannya yang mengakibatakn instabilitas
keuangan negara yang menyangkut terhadap hak-hak masyarakat atau publik secara
meluas, maka korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan yang mencederai
kepentingan masyarakat secara meluas, perbuatan yang berdampak sistemik,
bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial serta mengakibatkan
terganggunya tatanan tertib sosial serta konstitusi negara.
Sebenarnya
wacana perlunya menerapkan extraordinary
punishment terhadap korupsi telah menjadi topik hangat yang menuai
pandangan pro dan kontra, tidak hanya berbicara persoalan retributive berupa punishment
melainkan juga berbicara pencegahan (preventif) mengingat korelasi kedua hal
tersebut amatlah penting dalam memberantas persoalan korupsi. Salah satu bentuk
extraordinary punishment tersebut
adalah dengan melegalkan stelsel hukuman mati sebagai bentuk nestapa yang dapat
dijatuhkan dalam tindak pidana atau delik korupsi.[19]
Alasan
mengenai pentingnya penjatuhan pidana mati tersebut untuk diberlakukan terhadap
korupsi setidaknya dapat disarikan dari beberapa pandangan sebagai berikut:
a. Penjatuhan
pidana mati terhadap tindak pidana korupsi didasarkan pada ide “menghindari
tuntutan/reaksi masyarakat yang bersifat balas
dendam/emosional/sewenang-wenang/tidak terkendali atau bersifat “extralegal execution”. Artinya,
disediakannya pidana mati dalam undang-undang dimkasudkan untuk memberikan
saluran emosi/tuntutan masyarakat. Tidak tersedianya pidana mati dalam
undang-undang bukan merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam
masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghindari emosi balas dendam pribadi
masyarakat yang tidak rasional, dipandang lebih bijaksana apabila pidana mati
tetap tersedia dalam undang-undang.[20]
b. Seandainya
pidana mati tidak diterapkan terhadap delik korupsi, dikhawatirkan perkembangan
korupsi tidak dapat dibatasi oleh karena korupsi tersebut digolongkan sebagai
bentuk perbuatan yang keterlaluan, mencederai prinsip dasar bernegara, merusak
tatanan masyarakat dan konstitusi, sehingga adalah wajar apabila dijatuhi
pidana mati.[21]
c. Pidana
mati merupakan alat penting untuk penerapan yang baik dari hukum pidana oleh
karena kemanfaatannya sebagai alat penguasa agar norma hukum dipatuhi.[22]
d. Pidana
mati sangat dibutuhkan dalam era pembangunan terhadap mereka yang menghambat
proses pembangunan.[23] Korupsi dapat diartikan
menghambat proses pembangunan oleh karena sifatnya yang merugikan perekonomian
negara.
Pemberian
pidana mati ditinjau dari orientasi dari tujuan hukum pidana itu sendiri yaitu
:[24]
a. Memperkuat
jaringan ahlak atau moral, dan membangun tanggung jawab sosial;
b. Melindungi
tatanan masyarakat dan tatanan konstitusi dari gangguan atau perbuatan jahat;
c. Mendidik
kesadaran hukum masyarakat;
d. Untuk
membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bersama atau bermasyarakat.
Pemberian
pidana mati itu sendiri pada hakikatnya tidak dapat dihadapkan secara diametral
(sama sekali bertentangan) dengan “hak untuk hidup” (Pasal 28A jo. Pasal 28 I Undang-Undang Dasar
1945 dan Pasal 9 Ayat 1 jo. pasal 4 Undang-Undang HAM ) dan “hak untuk bebas
dari penghilangan nyawa” (pasal 33 undang-undang HAM). Pernyataan didalam
undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang HAM bahwa “setiap orang berhak untuk
hidup”, identik dengan pasal 6 ayat (1) ICCPR yang menyatakan bahwa “every human being has the right to life”.
Namun didalam pasal 6 ayat (1) ICCPR, pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat
tegas bahwa “no one shall be arbitrarily
deprived of his life”. Jadi walaupun pasal 6 ayat (1) ICCPR menyatakan
bahwa “setiap manusia mempunyai hak untuk hidup” tetapi tidak berarti hak untuk
hidupnya itu tidak dapat dirampas, yang tidak boleh adalah “perampasan hak
hidupnya secara sewenang-wenang”. Bahkan dalam pasal 6 ayat (2) dinyatakan,
pidana mati tetap dapat dimungkinkan untuk “the
most serious crimes”.
Mengenai
tata cara pelaksanaan pidana mati itu sendiri, dengan tetap
memperhatikan klausul pasal 10 huruf (a) angka (1e) jo. pasal 11 KUHP jo.
Undang-Undang No.2 PNPS 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Putusan
mengenai pidana mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus
dinyatakan dengan keputusan presiden (fiat eksekusi). Kendati terpidana menolak
untuk memohon pengampunan (grasi) dari presiden, beliau tetap berwenang
memberikan grasi untuk mengatasi terjadinya kemungkinan kesalahan hakim. Dalam
hal ini adanya campur tangan presiden, sehingga dapat diartikan bahwa pidana
mati tersebut tidak bersifat sewenang-wenang oleh karena butuh serangkaian
proses pemikiran dan pertimbangan yang cukup mendalam baik dalam tataran
putusan oleh yudikatif maupun dalam hal pelaksanaan yang terlebih dahulu
melalui persetujuan presiden selaku eksekutif.
Pidana
mati dipandang dari ide keseimbangan monodualistik[25] dan individualisasi
pidana[26] itu sendiri, menurut
penulis sendiri tidak dapat digolongkan sebagai bentuk stelsel yang bersifat
kejam oleh karena pidana mati yang bersifat ekseptional tersebut memiliki
ketentuan sebagai berikut:
a. Pelaksananaan
eksekusi terpidana mati menggunakan cara yang seminimal mungkin tidak
menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan (meregang nyawa) dalam arti lain
pelaksanaan eksekusi tersebut dengan tetap memperhatikan sisi kemanusiaan
terhadap si terpidana;
b. Pelaksanaan
pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum, hal ini adalah manusiawi
mengingat terpidana dalam hal ini tetap dipandang kedudukannya sebagai individu
yang diakui hak-haknya secara terbatas;
c. Pidana
mati tidak pernah diancamkan secara tersendiri. Bahkan tidak pernah diancamkan
secara alternative hanya dengan pidana penjara seumur hidup;
d. Pidana
mati tidak boleh diberikan berbarengan dengan pidana pokok lainnya (penjara,
tutupan, kurungan dan denda);
e. Pidana
mati hanya diberikan terhadap kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan
berat (rare crimes) dan kejahatan
luar biasa (extraordinary crimes);
f. Dalam
pasal 56 KUHAP disebutkan antara lain bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa
melakukan perbuatan yang diancamkan dengan pidana mati maka pejabat yang
bersangkutan untuk memeriksa perkara tersebut diwajibkan menunjuk penasehat hukum
bagi mereka secara Cuma-Cuma;
Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas maka adalah kurang bijak apabila ada pendapat yang
mengatakan pidana mati adalah pidana yang kejam dan tidak layak diterapkan oleh
karena pemberian pidana mati tersebut mereduksi hak asasi manusia. Penulis
sendiri berpandangan bahwa eksistensi pidana mati tersebut adalah ideal oleh
karena pemberian pidana mati tersebut dilakukan dengan tetap mengedepankan sisi
humanistik dan di indonesia sendiri pandangan mengenai HAM tersebut tidak bersifat
mutlak[27] oleh karena posisi hukum
sebagai pembatas sekaligus penyeimbang/pengatur hak terhadap kewajiban asasi,
sehingga pelaksanaan hak tersebut apabila dilakukan secara tak terkendali, maka
hukum dapat memaksakan sarananya untuk bergerak melakukan tindakan yang
dianggap perlu dan sepadan termasuk pemberian pidana mati itu sendiri dengan
tujuan untuk ketertiban sosial dan keamanan nasional.
C.
Pandangan
Penolakan Terhadap Penjatuhan Pidana Mati
Pidana
mati sejatinya seperti dikemukakan diawal banyak menuai polemik, sejalan dengan
pendapat Prof.Mr.Roeslan Saleh beliau mengatakan bahwa karena orang semakin
memahami betapa buruknya pidana mati itu, sehingga banyak negara modern yang
menghapuskannya dari perundang-undangan pidananya.[28] Hal ini didasari adanya
pandangan HAM dalam tataran konseptual,[29] Hak Asasi Manusia
mengalami Proses perkembangan yang sangat kompleks.[30] Perbincangan mengenai Hak
Asasi Manusia tersebut mendapat perhatian yang cukup intens sejalan dengan
perkembangan kesadaran manusia akan status yang dimilikinya secara kodrati. Hal
ini sejalan dengan prinsip humanisasi hidup dan keadilan sosial yang tampil
sebagai suatu bentuk kekuasaan yang baru yang dihadapi manusia pada zaman ini.[31] Posisi manusia yang
senantiasa memberikan pengaruh berbeda terhadap bentuk kekuasaan yang berada
melingkupinya disadari pula turut mengambil andil dalam proses penghormatan dan
penjaminan Hak Kodrati yang melekat padanya selaku individu yang merdeka.
Dari
sudut perkembangan argumentasi pandangan kontra terdapat berbagai pendapat
terkait dengan ketidaksepakatan dalam penjatuhan pidana mati yaitu:
a. Menurut
Cesare Becaria, dalam tulisannya “de
delliti e delle penne” (on crimes and punishment). Ia meragukan apakah negara
mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana mati. Keraguannya itu didasarkan pada
ajaran kontrak sosial. Menurutnya alasan penjatuhan pidana itu adalah untuk
menjaga kelangsungan hidup masyarakat dan untu mencegah orang melakukan
kejahatan. Pidana mati tidak dapat mencegah kejahatan dan bahkan merupakan
kebrutalan. Sehingga ia yakin bahwa pidana mati menyianyiakan sumberdaya
manusia yang merupakan modal utama bagi negara;
b. Menurut
Voltaire, mendalihkan pandangannya
dari sudut kegunaan (utility). Ia meminta ulang pemeriksaan perkara Jean Callas,
setelah diperiksa ulang (1765) ternyata callas terbukti tidak bersalah, namun
hal tersebut tidaklah berguna mengingat hukuman mati telah dijatuhkan terhadap
callas (1762). Berdasarkan peristiwa ini, dikhehendaki agar rakyat diberikan
kesatuan hukum dan kepastian hukum serta penjatuhan pidana mati sedapat mungkin
dibatasi;
c. Menurut
JJ. Rosseau, dalam bukunya yang
berjudul “du contract social” mendasarkan pendapatnya pada fiksi perjanjian
masyarakat (volonte generale). Dikemukakannya bahwa tidak seorangpun mempunyai
hak untuk menyerahkan/mengorbankan kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, tidak
seorangpun dengan perjanjian dapat memberikan hak hidup dan mati atas dirinya
kepada para raja atau penguasa. Kontrak sosial tidak dapat membenarkan pidana
mati;
Beberapa
pandangan tersebut dijadikan pandangan bagi pihak yang kontra terhadap
penjatuhan pidana mati. Disamping itu oleh karena perkembangan pemahaman HAM
yang demikian luas, maka kedudukan stelsel pidana mati secara internasional
dibeberapa negara mulai dihapuskan dengan alasan bahwa pidana mati bersifat
tidak rasional, kejam, dan tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat.
Pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan atas gerak aktifitas negara memegang kendali atas
pengaturan pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Salah satu kendali
peran pemerintah tersebut adalah melalui formulasi atau pengaturan
perundang-undangan. Proses pengaturan perundangan terkait tindak pidana korupsi
secara lebih khusus menimbulkan suatu pertanyaan, apakah kebijakan formulasi pidana mati dalam undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 cukup operasional/fungsional untuk diterapkan secara efektif dalam
rangka memberantas korupsi di indonesia? Masalah ini patut dikemukakan
karena dalam penjelasan umum undang-undang nomor 31 tahun 1999 dinyatakan
bahwa:
“undang-undang ini
dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi…”
Disamping
itu perlunya kebijakan formulasi pidana mati ini dikaji ulang karena tidak
mustahil suatu kebijakan sanksi pidana yang telah dipilih dan dicantumkan dalam
undang-undang tidak dapat atau sulit diterapkan, justru disebabkan adanya
kelemahan di dalam kebijakan formulasinya.
Ketentuan
pidana mati dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 hanya diatur dalam satu
pasal, yaitu pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
“dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu maka pidana mati dapat dijatuhkan”[32]
Dari
perumusan diatas dapat dilihat bahwa pidana mati merupakan pemberatan pidana
apabila tindak pidana korupsi dilakukan “dalam keadaan tertentu”. Kebijakan formulasi yang demikian mengandung
beberapa kelemahan dan memberikan kesan “kekurang seriusan” pembuat
undang-undang untuk menerapkan pidana mati. Letak kekurang seriusan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pidana
mati sebagai pemberatan pidana hanya diancamkan untuk tindak pidana korupsi
tertentu dalam pasal dalam pasal 2 ayat (1), yaitu “melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri/orang lain / korporasi secara melawan hukum”. Jadi
tidak ditujukan terhadap semua bentuk tindak pidana korupsi, padahal dalam
“penjelasan umum” yang dikutip diatas, tujuan dibuatnya undang-undang nomor 31
tahun 1999 ini (sebagai pengganti undang-undang nomor 3 tahun 1971) adalah
untuk memberantas “setiap bentuk tindak
pidana korupsi”;
b. Dengan
diancamkannya pidana mati sebagai (pemberatan pidana) hanya untuk tindak pidana
korupsi dalam pasal 2 berarti pidana mati secara formal tidak ditujukan
terhadap tindak pidana korupsi lainnya, khususnya tindak pidana korupsi yang
berupa “penyalahgunaan kewenangan/ kesempatan/sarana karena jabatan atau
kedudukan” diatur dalam pasal 3. Padahal, tindak pidana korupsi dalam pasal 3
inipun diancam dengan maksimum pidana yang sama dengan delik dalam pasal 2 ayat
(1), yaitu diancam dengan pidana seumur hidup atau penjara selama 20 tahun.
Bahkan dalam pandangan masyarakat dan dilihat dari hakikat korupsi sebagai
delik jabatan, perbuatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 dirasakan lebih
berat dan tercela daripada memperkaya diri sebagaimana yang yang tercantum dalam
pasal 2, setidak-tidaknya harus dipandang sama berat, pengancaman hanya terhadap satu bentuk delik yang memiliki bobot yang
sama adalah bersiat parsial dan mencederai prinsip keadilan itu sendiri;
c. Kelemahan
lain berkaitan dengan formulasi “keadaan
tertentu” yang menjadi alasan pemberatan pidana untuk dapat dijatuhkan
pidana mati. Dalam berbagai formulasi undang-undang, “keadaan tertentu” yang
menjadi alasan pemberatan pidana pada umumnya dirumuskan secara tegas pada
delik yang bersangkutan (lihat misalnya pemberatan pidana untuk penganiayaan
dalam pasal 356 KUHP dan pemberatan pidana untuk pencurian dalam pasal 365
KUHP). Namun dalam pasal 2 ayat 2 UU nomor 31 tahun 1999, “keadaan tertentu”
yang menjadi alasan pemberatan pidana itu tidak dirumuskan secara tegas dalam
perumusan pasal, tetapi hanya dimasukan dalam penjelasan pasal 2. Hal ini merupakan bentuk kecacatan
formulasi.
d. Sangat
disayangkan bahwa dalam undang-undang tindak pidana korupsi tidak mencantumkan
pemberatan pidana terhadap pengulangan perbuatan (recidive) dengan demikian si
pelaku akan lolos dari ancaman pemberatan pidana mati, hal ini memberikan gambaran ketidakseriusan pemerintah dalam formulasi
pidana mati dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
e. Karena
adanya beberapa kelemahan formulasi diatas, tidak mustahil pidana mati sulit
atau jarang dapat dijatuhkan terhadap para koruptor di indonesia. Sangat
disayangkan kelemahan formulasi pidana mati dalam undang-undang 31 tahun 1999
itu, tidak dilihat sebagai masalah yang seharusnya diperbaiki atau diamademen
oleh undang-undang nomor 20 tahun 2001.
Beberapa
formulasi yang tidak sempurna berikut menimbulkan ketidakpastian dan
ketidakadilan sehingga atas hal apapun pemberian pidana mati adalah kurang
tepat. Mengutip pendapat satjipto rahardjo, “undang-undang cacat sejak lahir
(pembentukannya) tidak dapat dipergunakan untuk mencapai keadilan”. Butuh suatu
pemikiran formulasi pidana mati hendaknya harus dipikirkan lebih serius lagi
mengingat pidana mati merupakan pidana yang paling berat diantara stelsel
pidana lainnya.
Bahwa undang-undang merupakan produk politik,[33] demikian pula mengenai
formulasi pidana mati dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi,
seringkali perbenturan kepentingan mewarnai proses pembentukannya hal inilah
yang digolongkan sebagai faktor non hukum, sehingga seringkali melupakan
unsur-unsur terpenting yang mewarnai hukum itu sendiri yaitu nilai keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Idealnya dalam penyusunan undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi para pembuat kebijakan wajib lebih memahami
nilai-nilai kearifan nasional di tiap daerah sehingga undang-undang tersebut
dapat mengkooptasi unsur legal structure,
legal substance dan legal culture
tersebut. Sehingga kecacatan formulasi sebagaimana yang dikemukakan diatas
tidak terulang kembali.
Konklusi
1. Hukuman
mati masih perlu diancamkan khususnya terhadap kejahatan yang tergolong
kejahatan berat (rare crimes),
kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes) yang membutuhkan penanganan yang bersifat khusus. Penjatuhan pidana
mati sedapat mungkin dengan tetap memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan,
kepentingan umum yang dilanggar, serta kemanfaatan secara luas;
2. Hukuman
mati terhadap koruptor itu sendiri dilegalkan dalam rangka mengindari rasa
ketidak puasan masyarakat yang berakibat terjadinya extralegal punishment yang
berujung pada kondisi chaos dalam tatanan masyarakat itu sendiri. Pada
hakekatnya penjatuhan pidana mati tidak dapat dikategorikan bertentangan
(diametral) terhadap hak untuk hidup/ mempertahankan hidup dari individu,
mengingat pembatasan hak tersebut adalah kewajiban asasi untuk menghormati hak
orang lain dan hukum ada sebagai penyeimbang antara hak dan kewajiban tersebut;
3. Dari
sejumlah kasus/delik yang dijatuhi pidana mati dilaksanakan dengan tidak
memperhatikan prinsip keadilan terutama terhadap pelaku, hal ini dikemukakan
oleh karena dalam hal putusan hukuman mati belum mencapai tataran (fiat
eksekusi) maka terdakwa harus menjalani hukuman penjara selama waktu yang tak
ditentukan menunggu putusan oleh presiden, hal ini adalah tidak tepat mengingat
penjatuhan pidana mati dibarengi dengan pidana pokok lainnya, hal ini
mengakibatkan seseorang mengalami dua bentuk pemidanaan secara langsung. Hal
ini bertentangan dengan nilai keseimbangan pidana (prinsip monodualistik);
4. Formulasi
kebijakan pidana mati dalam undang-undang tindak pidana korupsi bersifat
parsial serta tidak menjamin terlaksananya prinsip keadilan, ketidaksesuaian
terhadap pedoman dan pola pemidanaan menimbulkan kerancuan bagi para jurist
untuk menjatuhkan putusan pidana mati terhadap terdakwa, sehingga berdasarkan
alasan tersebut maka pidana mati perlu untuk dikaji kembali keberadaanya dalam
formulasi perundang-undangan di indonesia, oleh karena hakikat dari pidana itu
sendiri adalah untuk melindungi kehidupan dan memelihara ketentraman.
Saran
1. Pemberian
pidana mati sedapat mungkin harus tetap dipertahankan dengan
pembatasan-pembatasan sehingga pidana mati berkedudukan sebagai exceptional
punishment. Oleh sebab itu formulasi peraturan mengenai penjatuhan pidana mati
harus diperhatikan dengan tetap berkesesuaian terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2. Pidana
mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya
cara untuk menekan laju korupsi di indonesia. Upaya preventif melalui kebijakan
non penal harus dilaksanakan guna mendukung kebijakan penal itu sendiri
sehingga korupsi dapat ditekan dan ditangani secara baik.
[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta, hlm.7.
[2] Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2010, hlm.31.
[3] Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal Political
Dilemmas of Indonesia New Orders 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993, hlm.14.
[4] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari Undang-Undang Dasar
1945 Sampai Dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2002, Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hlm.3.
[5] Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.6.
[6] Teori ini menjelaskan bahwa adanya
suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai
kekuasaan dalam suatu negara. Dalam Teori ini sumber kekuasaan adalah
masyarakat itu sendiri. Lihat: Jimly Ashidiqie, Konstitusi dan Negara Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam
rangka Studium Generale di hadapan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 17 September 2008.
[7] Konsep ini didasarkan pada pemikiran
kekuasaan tidak boleh berada pada suatu tangan oleh sebab itu kekuasaan negara
dibagi kedalam tiga cabang, yakni legislatif (kekuasaan membuat undang-undang),
Eksekutif (kekuasaan menjalankan undang-undang), dan Yudikatif (kekuasaan
mengadili apabila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang). Lihat: Romi
Librayanto, Trias Politica dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Pukap, Makasar, 2008, hlm.12.
[8] Teori ini menjelaskan bahwa semua
kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat. Faham kedaulatan
rakyat ini merupakan faham penolakan terhadap hak raja atau golongan atas untuk
memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada
golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat.
Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri. Hukum hanyalah sah apabila
ditetapkan oleh kehendak rakyat. Lihat: I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi Judicial Review dan
Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm.84.
[9] I Wayan Partiarna, Ekstradisi Dalam Hukum Nasional dan Hukum
Internasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1993, hlm.100.
[10] C.De Rover, To Serve and To Protect – Acuan Universal Dalam Penegakan HAM, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2000,hlm.99.
[11] Bernard L. Tanya, Op.Cit, hlm.10
[12] Boer Mauna,Op.Cit. hlm.669.
[13] Lihat, Claude-Albert Colliard, Institutions Des Relations Internationals,
huitieme edition, 1985,Dallos, hlm.355.
[15] Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations-An Introduction,
The Macmillan Company, United States of America, 1956,hlm.90.
[16] B.Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and
Tribunals , dalam Op.Cit, hlm. 3.
[17] Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
[18] Lihat pasal 2 ayat 1 undang-undang
nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
[19] Lihat pasal 2
ayat 2 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Dalam ketentuan hukum positif tersebut, hukuman mati dapat dijatuhkan dalam kondisi tertentu yaitu kondisi
dimana sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
[20] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana , 2005,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.289.
[21] SR Sianturi dan Mompang
Panggabean, Hukum Penitensir di Indonesia,
1999, Bandung: Alumni Ahaem Petahaem,
hlm.62.
[22] Ibid, Hlm 64.
[23] Oemar Seno Adji, dalam Ibid, hlm.60.
[24] Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana dan Kajian Perbandingan Beberapa Negara, 2009,
Semarang; Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, hlm.19.
[25] Ide keseimbangan monodualistik diterapkan dalam syarat
pemidanaan dalam konsep yang bertolak dari pemikiran keseimbangan
(mono-dualistik) antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu,
antara faktor objektif dan faktor subjektif. Dilihat dari pokok pemikiran yang
menitikberatkan kepada perlindungan kepentingan masyarakat. Ide keseimbangan
diterapkan juga pada masalah sumber hukum (asas atau landasan legalitas), asas
legalitas dalam RUU-KUHP ini tidak hanya mendasarkan kepada asas legalitas
formal (berdasarkan undang-undang), akan tetapi juga didasarkan kepada asas
legalitas materil, yaitu dengan memberikan tempat kepada hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law). Perluasan
asas legalitas ini didasarkan kepada landasan kebijakan legislatif nasional
setelah kemerdekaan, landasan kesepakatan ilmiah atau seminar nasional,
landasan sosiologis, landasan internasional, dan landasan komparatif. Lihat: Barda Nawawi Arief, Bungai Rampai Hukum Pidana Indonesia, 2009, Semarang: Penerbit
Universitas Diponegoro, hlm.17.
[26]Ibid, hlm.20. Karakteristik dari ide
individualisme: (i)pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/
perorangan (asas personal); (ii)pidana hanya diberikan kepada
orang yang bersalah (asas culpabilitas); (iii)Ada kelonggaran/ fleksibilitas
bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) –
Asas “elasticity/ flexibility of
sentencing” dan; (iv)dimungkinkannya modifikasi pidana
(perubahan/ penyesuaian) dalam pelaksanaannya (Asas modification of sanction). Bandingkan
dengan Prinsip-prinsip yang menjamin adanya proses individualisasi pidana
menurut Sheldon Glueck: (I) The treatment (sentence-imposing) feature of the proceedings must be
sharply differentiated from the guilt-finding phase;(ii)The decision as to treatment must be made by a board or tribunal specially
qualified in the interpretation and evaluation of psychiatric, psychological,
and sociological data; (iii)The treatment must be
modifiable in the light of scientific reports of progress;(iv)The right of the individual must be safeguarded against possible
arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal.Sheldon Glueck, Punishment
and Responsibility, Newyork; Boston Press,hlm.47.
[27] Pembatasan
Pelaksanaan Hak Asasi Manusia itu adalah Kewajiban untuk Menghormati Hak Asasi
Manusia Orang Lain. Serta dalam
menjalankan HAM tersebut wajib tunduk terhadap pembatasan yang diteapkan hukum
dan undang-undang. Lihat: Klausul
Pasal 28J Ayat (1) dan (2).
[28] Sianturi, Op.Cit, hlm.63.
[29] Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal Political
Dilemmas of Indonesia New Orders 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993, hlm.14.
[30] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
dari Undang-Undang Dasar 1945 Sampai Dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Tahun 2002, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hlm.3.
[31] Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.6.
[32] Lihat juga penjelasan pasal 2
ayat (2) Undang-Undang 31 Tahun 1999, mengenai terminology keadaan tertentu
yang diisyaratakan oleh undang-undang dalam penjatuhan pidana mati.
[33] Moh.Mahfud MD, Op.cit. Hlm.39
Free Football Tips & Predictions for Today | vntopbet.com
BalasHapusFootball Tips, Predictions & Free Betting happyluke Tips. Football Prediction for ミスティーノ Today's bk8 matches with free livescore tips.