Sabtu, 04 Mei 2013

KAJIAN HUKUM DAN HAM TERHADAP PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI KORUPTOR

Abstraksi
Penjatuhan pidana mati (capital punishment) terhadap suatu delik tertentu  telah lama menuai perdebatan baik pro maupun kontra tidak hanya ditataran akademisi maupun praktisi hukum semata, persoalan pemberian pidana mati juga masih menjadi perbincangan yang cukup “hangat”  di kalangan masyarakat. Persoalan terpenting yang menarik adalah mengenai efektifitas penjatuhan pidana mati itu sendiri apakah cukup mampu untuk menekan laju perkembangan dan perluasan kejahatan yang tergolong extra ordinary crime.
Hukum pidana  pada dasarnya merupakan  sarana untuk menjamin terlindungi dan tercapainya ketertiban sosial dalam masyarakat. Di indonesia sendiri tujuan dari hukum pidana itu sendiri diorientasikan pada aspek social welfare dan social defence sebagaimana yang termaktub dalam tujuan negara yang terdapat dalam alinea ke-4 (empat) undang-undang dasar 1945. Posisi hukum pidana sebagai utimum remidium (obat terakhir) dalam menangani berbagai problema kemasyarakatan semakin mendapatkan tempat penting terutama berkaitan dengan usaha untuk mempertahankan kepentingan umum. Sejalan dengan pendapat Van Bemmelen, bahwa dengan adanya hukum pidana yang diancamkan terhadap tingkah laku manusia berarti negara telah mengambil alih tanggungjawab mempertahankan peraturan dan tertib sosial yang telah ditentukan.[1]
Persoalan korupsi dewasa ini mendapat perhatian yang cukup serius sebagai bentuk kejahatan extraordinary crime, sehingga penanganannya pun memerlukan bentuk pidana yang bersifat extraordinary punishment. Hal yang menarik apakah penjatuhan hukuman mati dapat digolongkan sebagai extraordinary punishment sehingga nestapa/pidana yang dijatuhkan tersebut memiliki efek pencegahan terhadap masyarakat ataukah hukuman mati tersebut akan menjadi pedang bermata dua yang apabila tidak hati-hati mempergunakannya dapat berbalik menyerang dan merusak tatanan sosial masyarakat sehingga tujuan untuk menekan bahkan menghentikan laju korupsi di negara ini tidak tercapai.

A.           Ajaran HAM Terhadap Hak Untuk Hidup Manusia
Hak  Asasi Manusia bermula dari sebuah gagasan bahwa manusia tidak boleh diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan, karena manusia memiliki hak alamiah yang melekat pada dirinya karena kemanusiaannya.[2] Gagasan itu didasari oleh pandangan bahwa manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun, baik ras maupun etnis. Kehadiran hak asasi manusia dalam komunitas internasional merupakan suatu kejadian penting karena pada dasarnya ia bertujuan untuk menghancurkan pelindung yang dulunya melingkupi setiap kekuasaan nasional dan membuatnya kelihatan seperti suatu keseluruhan dalam pandangan negara lain sehingga mekanisme internalnya tidak dapat dipertanyakan. Saat ini doktrin hak asasi manusia memaksa negara-negara untuk memberikan keterangan mengenai bagaimana mereka memperlakukan warga negaranya, bagaimana mereka menjalankan peradilan, mengoperasikan penjara dan sebagainya.
Dalam tataran konseptual,[3] Hak Asasi Manusia mengalami Proses perkembangan yang sangat kompleks.[4] Perbincangan mengenai Hak Asasi Manusia tersebut mendapat perhatian yang cukup intens sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia akan status yang dimilikinya secara kodrati. Hal ini sejalan dengan prinsip humanisasi hidup dan keadilan sosial yang tampil sebagai suatu bentuk kekuasaan baru yang dihadapi manusia pada zaman ini.[5] Posisi manusia yang senantiasa memberikan pengaruh berbeda terhadap bentuk penyelenggaraan kekuasaan disadari pula turut mengambil andil dalam proses penghormatan dan penjaminan hak kodrati yang melekat padanya selaku individu yang merdeka.
Secara keseluruhan, dalam komunitas internasional, doktrin hak asasi manusia telah memperoleh nilai dan signifikansi, dalam konteks sistem nasional, sesuai dengan Teori Kontrak Sosial dari Locke,[6] Konsep Pemisahan Kekuasaan dari Montesquieu,[7] serta Teori Kedaulatan Rakyat dari Rousseau.[8] Bersamaan dengan ide-ide politik tersebut yang mengikis fondasi monarki dan diktator, doktrin hak asasi manusia selain mendorong komunitas internasional untuk menghormati martabat semua manusia, juga berperan dalam proses demokratisasi negara-negara.
Pada masa sekitar abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia. Perjuangan untuk melindungi hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad ke-20. Deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh negara-negara secara kolektif dan individual.[9] Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum nasional, bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum internasional. Namun, dalam beberapa hal negara-negara bersepakat untuk menjalankan kewajiban mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali menjadi persoalan dalam bidang hak asasi manusia.[10]
Dinamika penegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia semakin mendapatkan  posisi penting dalam setiap pola kehidupan manusia, disadari atau tidak gelombang besar paham humanistic senantiasa  berkembang dan berada pada posisi terdepan dalam skala yang bersifat universal. Penegakan prinsip hak asasi manusia ini tentunya diikuti dengan perkembangan hukum sebagai tertib manusia[11], artinya bahwa keberadaan hukum itu tidak akan berhenti pada tataran teks-teks hukum melainkan menelisik lebih jauh kedalam konteks dari hukum itu sendiri. Adanya tiga elemen dasar pada hukum yang meliputi (substansi, struktur dan budaya) menjadi  suatu titik sentral dalam proses pembaharuan hukum untuk dapat menjawab setiap kebutuhan manusia akan hukum dan tertib sosial.
Berbicara hak asasi manusia tentunya tidak lepas dari keberadaan manusia sebagai pemegang hak. Keberadaan individu dalam tataran hukum internasional masih menjadi suatu pertanyaan besar yaitu apakah individu atau manusia merupakan subjek hukum internasional. Terdapat dua konsep berbeda dalam menjawab pertanyaan tersebut, dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif pada umumnya pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur mengenai hubungan antar negara dan oleh sebab itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.[12] Sebaliknya dengan mengutip pendapat Georges Scelle mengatakan bahwa “the international law subject is man because every rule and statute focused in human being[13], para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu individu mendapatkan perlindungan internasional.
Perkembangan terhadap perlindungan hak asasi manusia pada awalnya dikembangkan dari keadaan dimana negara memiliki tanggung jawab sebagai bentuk konsistensi dalam grand design negara itu sendiri. Proses pengejawantahan grand design tersebut turut dalam mengambil andil terhadap perkembangan konseptualisasi hak asasi manusia dalam konteks hukum internasional. Dinah Shelton menjelaskan sebagai berikut:[14]
“international human rights law has developed innovative procedures to allows victims of human rights violation to bring complaints directly against the offending state. Prior to development to of these procedures, violations of international law including those involving the mistreatment of individuals-were met with responses under the law of state responsibility this traditional body of law particularly the part of it that concerns the mistreatment of aliens, contains useful precedent for evaluating the nature an scope of remedies afforded in state practices”
Dari hal di atas dapat dilihat bahwa perkembangan hak asasi manusia dalam lingkup internasional pada awalnya melalui proses perkembangan dalam tataran nasional terlebih dahulu, kemudian sejalan dengan proses perkembangan hukum dan manusia, hak asasi manusia juga mengalami perkembangan.
Sebagai suatu hal yang bersifat murni dan esensial hak asasi manusia itu sendiri menurut Phillip C. Jessup menyebutkan suatu filosofi tua yang menyatakan bahwa “it is inherent in the concept of fundamental rights of man that those rights inhere in the individual and are not derived from the state[15].  Hak (right) adalah hak (entitlement). Hak adalah tuntutan yang dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut, dan tidak mencegah orang lain melaksanakan hak-haknya. Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia dengan mana hak tersebut tidak berasal atau diperoleh dari negara. Posisi negara dalam hal ini adalah sebagai penjamin berlangsungnya pelaksanaan hak-hak tersebut secara seimbang.
Negara sebagai organ gerak utama dalam perlindungan dan penjaminan pelaksanaan prinsip hak asasi manusia memiliki instrument berupa hukum. Hukum tanggung jawab negara dapat diterapkan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, sebab dengan adanya pelanggaran tersebut menimbulkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional. Selanjutnya mengenai tanggung jawab negara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: [16]
“clearly, the law of state responsibility remains applicable to the violation by a state of internationally-recognized human rights, because such an act constitutes a breach of an international obligation”
Disini dapat diperhatikan bahwa negara memiliki kewajiban yang telah disepakati secara internasional untuk melakukan perlindungan. Sebenarnya perlindungan tersebut pada hakikatnya datang dari cita negara itu sendiri.
Terdapat perbedaan pandangan mengenai konsep hak asasi manusia antar berbagai negara. Konsep perlindungan hak asasi manusia itu sendiri di indonesia dapat dilihat dalam pancasila maupun undang-undang dasar 1945 itu sendiri. Hal tersebut sebagaimana termaktub pula dalam preambule alinea ke-empat konstitusi indonesia sebagai berikut:[17]
“kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
Dari kutipan pembukaan konstitusi diatas dapat dipahami bahwa prinsip hak asasi manusia di indonesia telah dijamin keberlangsungannya. Penjaminan tersebut dapat dikategorikan dalam tataran social defence dan social welfare yang hendak diwujudkan oleh negara. Namun dapat dilihat pula bahwa konsep pelaksanaan hak asasi manusia di indonesia itu sendiri tentunya memiliki ciri yang berbeda dengan negara lainnya. Perbedaan tersebut tentunya terletak pada kearifan nasional indonesia yang tergambar dalam pancasila dan tujuan negara tersebut.
Hak untuk hidup itu sendiri dijamin keberlangsungannya dalam undang-undang dasar 1945, dimana dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang, sehingga tidak secara serta merta Hak untuk hidup dapat mengangkangi hak orang lain terutama dalam skala besar hak dari masyarakat. Inilah yang menjadi alasan dasar bahwa pembatasan hak untuk hidup adalah terletak pada kewajiban untuk menghormati hak untuk hidup yang dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan hal tersebut lah di satu sisi keberadaan pidana mati masih tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaanya.

B.           Pandangan Perlunya Penjatuhan Pidana Mati
 “Adalah hak dari penguasa negara untuk mempertahankan ketertiban umum. Jika ia merusak seluruh ketertiban adalah pantas untuk melenyapkan dia (pidana mati) dari seluruh pergaulan masyarakat”
(Dr. Mr. Rombonnet)
“Kekeliruan dalam pemidanaan (mati) yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan alasan membantah kefaedahannya terhadap masyarakat”
(Jonkers dalam Handboek Page 179)

Aspirasi dan tuntutan masyarakat yang sangat kuat di era reformasi untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efektif, disalurkan dan diwujudkan oleh wakil-wakil rakyat di DPR dengan mengganti undang-undang nomor 3 tahun 1971 dengan undang –undang nomor 31 tahun 1999 dan kemudian diamandemen kembali dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Adanya ancaman pidana mati dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 itu seolah-olah menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR pada waktu itu untuk memberantas korupsi. Dipilihnya atau ditetapkannya pidana mati sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan pada hakikatnya merupakan suatu pilihan kebijakan. Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat pro atau kontra terhadap pidana mati. Namun, setelah kebijakan diambil/diputuskan dan kemudian dirumuskan (diformulasikan) dalam suatu undang-undang, maka dilihat dari sudut kebijakan politik hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy), kebijakan formulasi pidana mati ini tentunya diharapkan dapat diterapkan dalam tahap aplikasi.
Korupsi diartikan sebagai perbuatan setiap orang yang dilakukan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mana merugikan keuangan dan perekonomian negara,[18] terminologi perbuatan melawan hukum tersebut diartikan secara tidak sah mempergunakan kewenangan, jabatan yang melekat padanya untuk melakukan tindakan yang tidak berkesesuaian dengan prinsip kepatutan, hukum, transparansi, akuntabilitas, dan dengan mana perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya dirisendiri, orang lain, atau korporasi, serta perbuatan tersebut mengakibatakn terganggunya perekonomian negara. Oleh karena perbuatannya yang mengakibatakn instabilitas keuangan negara yang menyangkut terhadap hak-hak masyarakat atau publik secara meluas, maka korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan yang mencederai kepentingan masyarakat secara meluas, perbuatan yang berdampak sistemik, bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial serta mengakibatkan terganggunya tatanan tertib sosial serta konstitusi negara.
Sebenarnya wacana perlunya menerapkan extraordinary punishment terhadap korupsi telah menjadi topik hangat yang menuai pandangan pro dan kontra, tidak hanya berbicara persoalan retributive berupa punishment melainkan juga berbicara pencegahan (preventif) mengingat korelasi kedua hal tersebut amatlah penting dalam memberantas persoalan korupsi. Salah satu bentuk extraordinary punishment tersebut adalah dengan melegalkan stelsel hukuman mati sebagai bentuk nestapa yang dapat dijatuhkan dalam tindak pidana atau delik korupsi.[19]
Alasan mengenai pentingnya penjatuhan pidana mati tersebut untuk diberlakukan terhadap korupsi setidaknya dapat disarikan dari beberapa pandangan sebagai berikut:
a.    Penjatuhan pidana mati terhadap tindak pidana korupsi didasarkan pada ide “menghindari tuntutan/reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam/emosional/sewenang-wenang/tidak terkendali atau bersifat “extralegal execution”. Artinya, disediakannya pidana mati dalam undang-undang dimkasudkan untuk memberikan saluran emosi/tuntutan masyarakat. Tidak tersedianya pidana mati dalam undang-undang bukan merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghindari emosi balas dendam pribadi masyarakat yang tidak rasional, dipandang lebih bijaksana apabila pidana mati tetap tersedia dalam undang-undang.[20]
b.    Seandainya pidana mati tidak diterapkan terhadap delik korupsi, dikhawatirkan perkembangan korupsi tidak dapat dibatasi oleh karena korupsi tersebut digolongkan sebagai bentuk perbuatan yang keterlaluan, mencederai prinsip dasar bernegara, merusak tatanan masyarakat dan konstitusi, sehingga adalah wajar apabila dijatuhi pidana mati.[21]
c.    Pidana mati merupakan alat penting untuk penerapan yang baik dari hukum pidana oleh karena kemanfaatannya sebagai alat penguasa agar norma hukum dipatuhi.[22]
d.    Pidana mati sangat dibutuhkan dalam era pembangunan terhadap mereka yang menghambat proses pembangunan.[23] Korupsi dapat diartikan menghambat proses pembangunan oleh karena sifatnya yang merugikan perekonomian negara.
Pemberian pidana mati ditinjau dari orientasi dari tujuan hukum pidana itu sendiri yaitu :[24]
a.    Memperkuat jaringan ahlak atau moral, dan membangun tanggung jawab sosial;
b.    Melindungi tatanan masyarakat dan tatanan konstitusi dari gangguan atau perbuatan jahat;
c.    Mendidik kesadaran hukum masyarakat;
d.    Untuk membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bersama atau bermasyarakat.
Pemberian pidana mati itu sendiri pada hakikatnya tidak dapat dihadapkan secara diametral (sama sekali bertentangan) dengan “hak untuk hidup”  (Pasal 28A jo. Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 9 Ayat 1 jo. pasal 4 Undang-Undang HAM ) dan “hak untuk bebas dari penghilangan nyawa” (pasal 33 undang-undang HAM). Pernyataan didalam undang-undang Dasar 1945 dan undang-undang HAM bahwa “setiap orang berhak untuk hidup”, identik dengan pasal 6 ayat (1) ICCPR yang menyatakan bahwa “every human being has the right to life”. Namun didalam pasal 6 ayat (1) ICCPR, pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas bahwa “no one shall be arbitrarily deprived of his life”. Jadi walaupun pasal 6 ayat (1) ICCPR menyatakan bahwa “setiap manusia mempunyai hak untuk hidup” tetapi tidak berarti hak untuk hidupnya itu tidak dapat dirampas, yang tidak boleh adalah “perampasan hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Bahkan dalam pasal 6 ayat (2) dinyatakan, pidana mati tetap dapat dimungkinkan untuk “the most serious crimes”.
Mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati itu sendiri, dengan tetap memperhatikan klausul pasal 10 huruf (a) angka (1e) jo. pasal 11 KUHP jo. Undang-Undang No.2 PNPS 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Putusan mengenai pidana mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus dinyatakan dengan keputusan presiden (fiat eksekusi). Kendati terpidana menolak untuk memohon pengampunan (grasi) dari presiden, beliau tetap berwenang memberikan grasi untuk mengatasi terjadinya kemungkinan kesalahan hakim. Dalam hal ini adanya campur tangan presiden, sehingga dapat diartikan bahwa pidana mati tersebut tidak bersifat sewenang-wenang oleh karena butuh serangkaian proses pemikiran dan pertimbangan yang cukup mendalam baik dalam tataran putusan oleh yudikatif maupun dalam hal pelaksanaan yang terlebih dahulu melalui persetujuan presiden selaku eksekutif.
Pidana mati dipandang dari ide keseimbangan monodualistik[25] dan individualisasi pidana[26] itu sendiri, menurut penulis sendiri tidak dapat digolongkan sebagai bentuk stelsel yang bersifat kejam oleh karena pidana mati yang bersifat ekseptional tersebut memiliki ketentuan sebagai berikut:
a.    Pelaksananaan eksekusi terpidana mati menggunakan cara yang seminimal mungkin tidak menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan (meregang nyawa) dalam arti lain pelaksanaan eksekusi tersebut dengan tetap memperhatikan sisi kemanusiaan terhadap si terpidana;
b.    Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum, hal ini adalah manusiawi mengingat terpidana dalam hal ini tetap dipandang kedudukannya sebagai individu yang diakui hak-haknya secara terbatas;
c.    Pidana mati tidak pernah diancamkan secara tersendiri. Bahkan tidak pernah diancamkan secara alternative hanya dengan pidana penjara seumur hidup;
d.    Pidana mati tidak boleh diberikan berbarengan dengan pidana pokok lainnya (penjara, tutupan, kurungan dan denda);
e.    Pidana mati hanya diberikan terhadap kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan berat (rare crimes) dan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes);
f.     Dalam pasal 56 KUHAP disebutkan antara lain bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan yang diancamkan dengan pidana mati maka pejabat yang bersangkutan untuk memeriksa perkara tersebut diwajibkan menunjuk penasehat hukum bagi mereka secara Cuma-Cuma;
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka adalah kurang bijak apabila ada pendapat yang mengatakan pidana mati adalah pidana yang kejam dan tidak layak diterapkan oleh karena pemberian pidana mati tersebut mereduksi hak asasi manusia. Penulis sendiri berpandangan bahwa eksistensi pidana mati tersebut adalah ideal oleh karena pemberian pidana mati tersebut dilakukan dengan tetap mengedepankan sisi humanistik dan di indonesia sendiri pandangan mengenai HAM tersebut tidak bersifat mutlak[27] oleh karena posisi hukum sebagai pembatas sekaligus penyeimbang/pengatur hak terhadap kewajiban asasi, sehingga pelaksanaan hak tersebut apabila dilakukan secara tak terkendali, maka hukum dapat memaksakan sarananya untuk bergerak melakukan tindakan yang dianggap perlu dan sepadan termasuk pemberian pidana mati itu sendiri dengan tujuan untuk ketertiban sosial dan keamanan nasional.

C.           Pandangan Penolakan Terhadap Penjatuhan Pidana Mati
Pidana mati sejatinya seperti dikemukakan diawal banyak menuai polemik, sejalan dengan pendapat Prof.Mr.Roeslan Saleh beliau mengatakan bahwa karena orang semakin memahami betapa buruknya pidana mati itu, sehingga banyak negara modern yang menghapuskannya dari perundang-undangan pidananya.[28] Hal ini didasari adanya pandangan HAM dalam tataran konseptual,[29] Hak Asasi Manusia mengalami Proses perkembangan yang sangat kompleks.[30] Perbincangan mengenai Hak Asasi Manusia tersebut mendapat perhatian yang cukup intens sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia akan status yang dimilikinya secara kodrati. Hal ini sejalan dengan prinsip humanisasi hidup dan keadilan sosial yang tampil sebagai suatu bentuk kekuasaan yang baru yang dihadapi manusia pada zaman ini.[31] Posisi manusia yang senantiasa memberikan pengaruh berbeda terhadap bentuk kekuasaan yang berada melingkupinya disadari pula turut mengambil andil dalam proses penghormatan dan penjaminan Hak Kodrati yang melekat padanya selaku individu yang merdeka.
Dari sudut perkembangan argumentasi pandangan kontra terdapat berbagai pendapat terkait dengan ketidaksepakatan dalam penjatuhan pidana mati yaitu:
a.    Menurut Cesare Becaria, dalam tulisannya “de delliti e delle penne” (on crimes and punishment). Ia meragukan apakah negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana mati. Keraguannya itu didasarkan pada ajaran kontrak sosial. Menurutnya alasan penjatuhan pidana itu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dan untu mencegah orang melakukan kejahatan. Pidana mati tidak dapat mencegah kejahatan dan bahkan merupakan kebrutalan. Sehingga ia yakin bahwa pidana mati menyianyiakan sumberdaya manusia yang merupakan modal utama bagi negara;
b.    Menurut Voltaire, mendalihkan pandangannya dari sudut kegunaan (utility). Ia meminta ulang pemeriksaan perkara Jean Callas, setelah diperiksa ulang (1765) ternyata callas terbukti tidak bersalah, namun hal tersebut tidaklah berguna mengingat hukuman mati telah dijatuhkan terhadap callas (1762). Berdasarkan peristiwa ini, dikhehendaki agar rakyat diberikan kesatuan hukum dan kepastian hukum serta penjatuhan pidana mati sedapat mungkin dibatasi;
c.    Menurut JJ. Rosseau, dalam bukunya yang berjudul “du contract social” mendasarkan pendapatnya pada fiksi perjanjian masyarakat (volonte generale). Dikemukakannya bahwa tidak seorangpun mempunyai hak untuk menyerahkan/mengorbankan kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, tidak seorangpun dengan perjanjian dapat memberikan hak hidup dan mati atas dirinya kepada para raja atau penguasa. Kontrak sosial tidak dapat membenarkan pidana mati;
Beberapa pandangan tersebut dijadikan pandangan bagi pihak yang kontra terhadap penjatuhan pidana mati. Disamping itu oleh karena perkembangan pemahaman HAM yang demikian luas, maka kedudukan stelsel pidana mati secara internasional dibeberapa negara mulai dihapuskan dengan alasan bahwa pidana mati bersifat tidak rasional, kejam, dan tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan atas gerak aktifitas negara memegang kendali atas pengaturan pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Salah satu kendali peran pemerintah tersebut adalah melalui formulasi atau pengaturan perundang-undangan. Proses pengaturan perundangan terkait tindak pidana korupsi secara lebih khusus menimbulkan suatu pertanyaan, apakah kebijakan formulasi pidana mati dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 cukup operasional/fungsional untuk diterapkan secara efektif dalam rangka memberantas korupsi di indonesia? Masalah ini patut dikemukakan karena dalam penjelasan umum undang-undang nomor 31 tahun 1999 dinyatakan bahwa:
“undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi…”
Disamping itu perlunya kebijakan formulasi pidana mati ini dikaji ulang karena tidak mustahil suatu kebijakan sanksi pidana yang telah dipilih dan dicantumkan dalam undang-undang tidak dapat atau sulit diterapkan, justru disebabkan adanya kelemahan di dalam kebijakan formulasinya.
Ketentuan pidana mati dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
“dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu maka pidana mati dapat dijatuhkan”[32]
Dari perumusan diatas dapat dilihat bahwa pidana mati merupakan pemberatan pidana apabila tindak pidana korupsi dilakukan “dalam keadaan tertentu”.  Kebijakan formulasi yang demikian mengandung beberapa kelemahan dan memberikan kesan “kekurang seriusan” pembuat undang-undang untuk menerapkan pidana mati. Letak kekurang seriusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Pidana mati sebagai pemberatan pidana hanya diancamkan untuk tindak pidana korupsi tertentu dalam pasal dalam pasal 2 ayat (1), yaitu “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain / korporasi secara melawan hukum”. Jadi tidak ditujukan terhadap semua bentuk tindak pidana korupsi, padahal dalam “penjelasan umum” yang dikutip diatas, tujuan dibuatnya undang-undang nomor 31 tahun 1999 ini (sebagai pengganti undang-undang nomor 3 tahun 1971) adalah untuk memberantas “setiap bentuk tindak pidana korupsi”;
b.    Dengan diancamkannya pidana mati sebagai (pemberatan pidana) hanya untuk tindak pidana korupsi dalam pasal 2 berarti pidana mati secara formal tidak ditujukan terhadap tindak pidana korupsi lainnya, khususnya tindak pidana korupsi yang berupa “penyalahgunaan kewenangan/ kesempatan/sarana karena jabatan atau kedudukan” diatur dalam pasal 3. Padahal, tindak pidana korupsi dalam pasal 3 inipun diancam dengan maksimum pidana yang sama dengan delik dalam pasal 2 ayat (1), yaitu diancam dengan pidana seumur hidup atau penjara selama 20 tahun. Bahkan dalam pandangan masyarakat dan dilihat dari hakikat korupsi sebagai delik jabatan, perbuatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 dirasakan lebih berat dan tercela daripada memperkaya diri sebagaimana yang yang tercantum dalam pasal 2, setidak-tidaknya harus dipandang sama berat, pengancaman hanya terhadap satu bentuk delik yang memiliki bobot yang sama adalah bersiat parsial dan mencederai prinsip keadilan itu sendiri;
c.    Kelemahan lain berkaitan dengan formulasi “keadaan tertentu” yang menjadi alasan pemberatan pidana untuk dapat dijatuhkan pidana mati. Dalam berbagai formulasi undang-undang, “keadaan tertentu” yang menjadi alasan pemberatan pidana pada umumnya dirumuskan secara tegas pada delik yang bersangkutan (lihat misalnya pemberatan pidana untuk penganiayaan dalam pasal 356 KUHP dan pemberatan pidana untuk pencurian dalam pasal 365 KUHP). Namun dalam pasal 2 ayat 2 UU nomor 31 tahun 1999, “keadaan tertentu” yang menjadi alasan pemberatan pidana itu tidak dirumuskan secara tegas dalam perumusan pasal, tetapi hanya dimasukan dalam penjelasan pasal 2. Hal ini merupakan bentuk kecacatan formulasi.
d.    Sangat disayangkan bahwa dalam undang-undang tindak pidana korupsi tidak mencantumkan pemberatan pidana terhadap pengulangan perbuatan (recidive) dengan demikian si pelaku akan lolos dari ancaman pemberatan pidana mati, hal ini memberikan gambaran ketidakseriusan pemerintah dalam formulasi pidana mati dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
e.    Karena adanya beberapa kelemahan formulasi diatas, tidak mustahil pidana mati sulit atau jarang dapat dijatuhkan terhadap para koruptor di indonesia. Sangat disayangkan kelemahan formulasi pidana mati dalam undang-undang 31 tahun 1999 itu, tidak dilihat sebagai masalah yang seharusnya diperbaiki atau diamademen oleh undang-undang nomor 20 tahun 2001.
Beberapa formulasi yang tidak sempurna berikut menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan sehingga atas hal apapun pemberian pidana mati adalah kurang tepat. Mengutip pendapat satjipto rahardjo, “undang-undang cacat sejak lahir (pembentukannya) tidak dapat dipergunakan untuk mencapai keadilan”. Butuh suatu pemikiran formulasi pidana mati hendaknya harus dipikirkan lebih serius lagi mengingat pidana mati merupakan pidana yang paling berat diantara stelsel pidana lainnya.
Bahwa undang-undang merupakan produk politik,[33] demikian pula mengenai formulasi pidana mati dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, seringkali perbenturan kepentingan mewarnai proses pembentukannya hal inilah yang digolongkan sebagai faktor non hukum, sehingga seringkali melupakan unsur-unsur terpenting yang mewarnai hukum itu sendiri yaitu nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Idealnya dalam penyusunan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi para pembuat kebijakan wajib lebih memahami nilai-nilai kearifan nasional di tiap daerah sehingga undang-undang tersebut dapat mengkooptasi unsur legal structure, legal substance dan legal culture tersebut. Sehingga kecacatan formulasi sebagaimana yang dikemukakan diatas tidak terulang kembali.

Konklusi
1.    Hukuman mati masih perlu diancamkan khususnya terhadap kejahatan yang tergolong kejahatan berat (rare crimes), kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang membutuhkan penanganan yang bersifat khusus. Penjatuhan pidana mati sedapat mungkin dengan tetap memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan, kepentingan umum yang dilanggar, serta kemanfaatan secara luas;
2.    Hukuman mati terhadap koruptor itu sendiri dilegalkan dalam rangka mengindari rasa ketidak puasan masyarakat yang berakibat terjadinya extralegal punishment yang berujung pada kondisi chaos dalam tatanan masyarakat itu sendiri. Pada hakekatnya penjatuhan pidana mati tidak dapat dikategorikan bertentangan (diametral) terhadap hak untuk hidup/ mempertahankan hidup dari individu, mengingat pembatasan hak tersebut adalah kewajiban asasi untuk menghormati hak orang lain dan hukum ada sebagai penyeimbang antara hak dan kewajiban tersebut;
4.    Formulasi kebijakan pidana mati dalam undang-undang tindak pidana korupsi bersifat parsial serta tidak menjamin terlaksananya prinsip keadilan, ketidaksesuaian terhadap pedoman dan pola pemidanaan menimbulkan kerancuan bagi para jurist untuk menjatuhkan putusan pidana mati terhadap terdakwa, sehingga berdasarkan alasan tersebut maka pidana mati perlu untuk dikaji kembali keberadaanya dalam formulasi perundang-undangan di indonesia, oleh karena hakikat dari pidana itu sendiri adalah untuk melindungi kehidupan dan memelihara ketentraman.

Saran
1.    Pemberian pidana mati sedapat mungkin harus tetap dipertahankan dengan pembatasan-pembatasan sehingga pidana mati berkedudukan sebagai exceptional punishment. Oleh sebab itu formulasi peraturan mengenai penjatuhan pidana mati harus diperhatikan dengan tetap berkesesuaian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.    Pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara untuk menekan laju korupsi di indonesia. Upaya preventif melalui kebijakan non penal harus dilaksanakan guna mendukung kebijakan penal itu sendiri sehingga korupsi dapat ditekan dan ditangani secara baik.


[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, hlm.7.
[2] Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hlm.31.
[3] Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal Political Dilemmas of Indonesia New Orders 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm.14.
[4] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari Undang-Undang Dasar 1945 Sampai Dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2002, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hlm.3.
[5] Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.6.
[6] Teori ini menjelaskan bahwa adanya suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu negara. Dalam Teori ini sumber kekuasaan adalah masyarakat itu sendiri. Lihat: Jimly Ashidiqie, Konstitusi dan Negara Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam rangka Studium Generale di hadapan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 17 September 2008.
[7] Konsep ini didasarkan pada pemikiran kekuasaan tidak boleh berada pada suatu tangan oleh sebab itu kekuasaan negara dibagi kedalam tiga cabang, yakni legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), Eksekutif (kekuasaan menjalankan undang-undang), dan Yudikatif (kekuasaan mengadili apabila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang). Lihat: Romi Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Pukap, Makasar, 2008, hlm.12.
[8] Teori ini menjelaskan bahwa semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat. Faham kedaulatan rakyat ini merupakan faham penolakan terhadap hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri. Hukum hanyalah sah apabila ditetapkan oleh kehendak rakyat. Lihat: I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi Judicial Review dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm.84.
[9] I Wayan Partiarna, Ekstradisi Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1993, hlm.100.
[10] C.De Rover, To Serve and To Protect – Acuan Universal Dalam Penegakan HAM, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,hlm.99.
[11] Bernard L. Tanya, Op.Cit, hlm.10
[12] Boer Mauna,Op.Cit. hlm.669.
[13] Lihat, Claude-Albert Colliard, Institutions Des Relations Internationals, huitieme edition,  1985,Dallos, hlm.355.
[15] Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations-An Introduction, The Macmillan Company, United States of America, 1956,hlm.90.
[16] B.Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and Tribunals , dalam Op.Cit, hlm. 3.
[17] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[18] Lihat pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
[19] Lihat pasal 2 ayat 2 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan hukum positif tersebut, hukuman mati dapat dijatuhkan dalam kondisi tertentu yaitu kondisi dimana sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
[20] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana , 2005, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.289.
[21] SR Sianturi dan Mompang Panggabean, Hukum Penitensir di Indonesia, 1999,  Bandung: Alumni Ahaem Petahaem, hlm.62.
[22] Ibid, Hlm 64.
[23] Oemar Seno Adji, dalam Ibid, hlm.60.
[24] Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan Kajian Perbandingan Beberapa Negara, 2009, Semarang; Badan  Penerbit Universitas Diponegoro, hlm.19.
[25] Ide keseimbangan monodualistik diterapkan dalam syarat pemidanaan dalam konsep yang bertolak dari pemikiran keseimbangan (mono-dualistik) antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu, antara faktor objektif dan faktor subjektif. Dilihat dari pokok pemikiran yang menitikberatkan kepada perlindungan kepentingan masyarakat. Ide keseimbangan diterapkan juga pada masalah sumber hukum (asas atau landasan legalitas), asas legalitas dalam RUU-KUHP ini tidak hanya mendasarkan kepada asas legalitas formal (berdasarkan undang-undang), akan tetapi juga didasarkan kepada asas legalitas materil, yaitu dengan memberikan tempat kepada hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Perluasan asas legalitas ini didasarkan kepada landasan kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan, landasan kesepakatan ilmiah atau seminar nasional, landasan sosiologis, landasan internasional, dan landasan komparatif. Lihat: Barda Nawawi Arief, Bungai Rampai Hukum Pidana Indonesia, 2009, Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro, hlm.17.
[26]Ibid, hlm.20. Karakteristik dari ide individualisme: (i)pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/ perorangan (asas personal); (ii)pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas); (iii)Ada kelonggaran/ fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) – Asas “elasticity/ flexibility of sentencing” dan; (iv)dimungkinkannya modifikasi pidana (perubahan/ penyesuaian) dalam pelaksanaannya (Asas modification of sanction). Bandingkan dengan Prinsip-prinsip yang menjamin adanya proses individualisasi pidana menurut Sheldon Glueck: (I) The treatment (sentence-imposing) feature of the proceedings must be sharply differentiated from the guilt-finding phase;(ii)The decision as to treatment must be made by a board or tribunal specially qualified in the interpretation and evaluation of psychiatric, psychological, and sociological data; (iii)The treatment must be modifiable in the light of scientific reports of progress;(iv)The right of the individual must be safeguarded against possible arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal.Sheldon Glueck, Punishment and Responsibility, Newyork; Boston Press,hlm.47.
[27] Pembatasan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia itu adalah Kewajiban untuk Menghormati Hak Asasi Manusia Orang Lain.  Serta dalam menjalankan HAM tersebut wajib tunduk terhadap pembatasan yang diteapkan hukum dan undang-undang. Lihat: Klausul Pasal 28J Ayat (1) dan (2).
[28] Sianturi, Op.Cit, hlm.63.
[29] Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal Political Dilemmas of Indonesia New Orders 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm.14.
[30] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari Undang-Undang Dasar 1945 Sampai Dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2002, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hlm.3.
[31] Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.6.
[32] Lihat juga penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang 31 Tahun 1999, mengenai terminology keadaan tertentu yang diisyaratakan oleh undang-undang dalam penjatuhan pidana mati.
[33] Moh.Mahfud MD, Op.cit. Hlm.39


1 komentar:

  1. Free Football Tips & Predictions for Today | vntopbet.com
    Football Tips, Predictions & Free Betting happyluke Tips. Football Prediction for ミスティーノ Today's bk8 matches with free livescore tips.

    BalasHapus